Oleh: Muhammad Abduh Negara
Ada yang menulis komentar:
“Ust Hakim bukan Ulama’, beliau Ustadz.. Hafidzhahullah…”
Ustadz Hakim yang dimaksud adalah Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, salah seorang ustadz senior di kalangan salafi di Indonesia.
Saya tidak ingin membahas sosok beliau. Juga tidak ingin membahas konteks komentar yang saya kutip di atas. Saya cuma ingin membahas ungkapan “bukan ulama, tapi ustadz”.
Saya sudah lama membahas tentang kedudukan seorang ulama, posisi pentingnya, dan siapa yang layak disebut sebagai ulama. Tentu yang saya bicarakan adalah kriteria, bukan personal. Saya bahas hal ini di dua buku saya, dan di beberapa artikel dan tulisan pendek.
Di tulisan ini, saya ingin menanggapi beberapa hal:
- Penggunaan istilah “ustadz” di negeri kita ini, rentangnya terlalu luas, dan seringkali tak Dulu saya memahami, istilah ustadz untuk ‘urf Indonesia adalah setiap orang yang mengajar agama, meski ‘hanya’ alif ba ta saja. Tapi sepertinya, itu pun belum bisa mencakup semua pemaknaan kata ustadz.
Di harakah saya dulu, minimal di waktu itu, kami menyebut semua senior kami dengan sebutan ustadz, entah dia memang lumayan menguasai ilmu syar’i, maupun yang jauh dari itu, bahkan baca Al-Qur’an masih sangat belepotan.
Ada yang menggunakannya untuk semua guru agama, baik penguasaannya terhadap ilmu agama cukup luas, maupun masih dangkal.
Di facebook ada juga akun, yang menyebut semua rekan FB yang mengomentari statusnya dengan sebutan ustadz, yang kadang, pihak yang disebut, tidak ada pantas-pantasnya disebut ustadz.
Ada juga yang ketat, dengan mensyaratkan penyebutan ustadz untuk yang lulusan ini dan itu, penguasaannya terhadap ilmu agama begini dan begitu.
Ada juga yang membatasi penyebutan ustadz hanya untuk ustadz di komunitas dan afiliasinya saja. Dari afiliasi dan komunitas berbeda, tidak disebut ustadz, meski ia lebih alim dari ustadz komunitasnya.
Ada juga yang konyol, mengarahkan agar sebutan ustadz itu hanya untuk yang menjabat jabatan profesor, seperti di Timteng. Dia tidak bisa membedakan ‘urf nusantara atau Indonesia, dengan ‘urf di dunia akademik Timteng.
- Masih banyak yang memahami, ulama itu hanya yang dari Kalau orang Indonesia, sampai kapanpun, hanya layak disebut “ustadz lokal”, padahal bisa jadi kapasitas keilmuannya setara bahkan lebih dari syaikh Arab.
Saya tidak memaksudkan, nama yang disebutkan di awal status, karena keadaan beliau belum jelas bagi saya. Cuma, menyatakan secara mutlak, tidak ada yang layak disebut ulama di Indonesia, adalah sikap inferior dan merendahkan bangsa sendiri, sekaligus tidak benar-benar sesuai realita.
- Kondisi sebaliknya juga banyak terjadi. Bermudah-mudahan menyebut ulama kepada semua penceramah agama. Bahkan yang tidak lulus nahwu dan sharaf, juga disebut ulama. Yang sekadar bisa cuap-cuap di media sosial, juga disebut
Kemudian, ukuran “ulama besar” dan “ulama biasa” diukur dari banyaknya jamaah pengajian yang hadir dan jumlah follower dan subscriber.
- Ada juga, yang hanya mengakui ulama dari kalangan dan komunitasnya Di luar komunitasnya, sealim apapun, bukan ulama, dan tidak layak diambil ilmunya.
Ini fanatisme buta.
- Boleh dikatakan, kadang yang disebut dengan sebutan ustadz, tuan guru, gus, kiyai dan sebutan lain, layak disebut sebagai ulama, dan dijadikan rujukan dalam Namun, kadang juga, semua sebutan di atas, sama sekali tidak menunjukkan pemiliknya layak sebagai ulama.
Jadi, jangan menjadikan gelar-gelar dan penyebutan semacam ini, sebagai standar keilmuan seseorang.
Leave a Reply