Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Bermadzhab Secara Terbuka Dan Menerima Kebenaran Dari Ulama Manapun

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Dr. Ayman Shalih, dalam makalah beliau berjudul “Shina’ah At-Tajdid Al-Fiqhi”, yang dimuat dalam buku “Shina’ah At-Tafkir Al-Fiqhi”, yang diterbitkan penerbit Takween, London, menyebutkan tiga pandangan pemikir kontemporer tentang “tajdid al-fiqh” (pembaharuan fiqih). Saya hanya akan fokus pada pandangan ketiga, yang dipuji oleh beliau, sedangkan dua pandangan pertama mendapat kritikan keras. Pandangan ketiga, yang beliau sebut “al-ihyaaiyyun al-mu’tadilun”, berbeda dengan dua pandangan pertama yang mengarah pada perubahan dan penggantian perkara ushul dan tsawabit dalam fiqih Islam, pandangan ketiga ini hanya berupaya menghidupkan, menguatkan, dan memperbaiki fiqih Islam, sehingga ia bisa hidup di zaman sekarang, tanpa kehilangan ruhnya yang asli.

Pandangan ketiga ini, terbagi lagi menjadi tiga metode. Pertama, beliau sebut “al-madzhabiyyun”. Kedua, “al-wasathiyyun at-taysiriyyun”, dengan salah satu tokoh utamanya, Yusuf Al-Qaradhawi. Ketiga, “as-salafiyyun”.

Sekarang kita fokus pada metode pertama, yaitu “al-madzhabiyyun”. Yang mengikuti metode ini, terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu “du’at al-madzhabiyyah al-mughlaqah” (kelompok bermadzhab yang tertutup), dan “du’at al-madzhabiyyah al-maftuhah” (kelompok bermadzhab yang terbuka).

Kesamaan dua kelompok ini adalah sama-sama bermadzhab dengan salah satu madzhab fiqih, baik dalam proses belajar, amal, dan fatwa. Namun keduanya berbeda dari sisi kewajiban mengikuti salah satu madzhab fiqih yang empat. Yang pertama mewajibkannya, dan mengharamkan keluar dari pendapat empat madzhab. Sedangkan yang kedua, yaitu “kelompok terbuka”, mereka tak mewajibkan terikat pada salah satu madzhab fiqih yang ada, bahkan membolehkan taqlid pada imam mujtahid di luar lingkungan empat madzhab fiqih.

Kita fokus pada kelompok terakhir ini. Mereka, meskipun bermadzhab (tamadzhub) dengan salah satu madzhab yang empat, namun tetap terbuka pada pendapat di luar madzhabnya, bahkan terbuka pada pendapat di luar empat madzhab. Bahkan mereka membolehkan, atau malah mewajibkan, para ulama untuk berijtihad dalam persoalan-persoalan kontemporer dengan metode fiqih perbandingan, bukan sekadar dengan metode takhrij madzhab saja.

Beberapa nama yang disebutkan oleh Dr. Ayman Shalih sebagai bagian dari kelompok ini adalah Wahbah Az-Zuhaili, Al-Buthi, dan Az-Zarqa.

Tentang tidak wajibnya terikat dengan pendapat satu madzhab saja, bahkan bolehnya mengikuti pendapat di luar empat madzhab, Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab beliau, “Ushul Al-Fiqh Al-Islami” mengajukan argumentasi yang bagus dan proporsional. Beliau menyajikan pendapat dan argumentasi masing-masing pihak, kemudian merajihkan pendapat yang membolehkan, dengan beberapa argumentasi, salah satunya bahwa kewajiban yang dibebankan Syariat hanya ikut ulama, bertanya pada ulama jika tidak tahu satu persoalan, tanpa menentukan ulama mana yang harus diikuti. Generasi salaf pun, bertanya kepada para mufti di kalangan Shahabat, tanpa mengikatkan diri pada satu orang Shahabat saja. Dan kita tidak bisa mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Syariat.

Selama penisbatan pendapat pada imam mujtahid di luar empat madzhab itu valid –dan itu sesuatu yang mungkin kita capai–, maka boleh taqlid atau mengikuti pendapat tersebut. Al-Buthi, di salah satu fatwanya, membolehkan taqlid pada Ibnu Taimiyyah, sebagaimana beliau juga membolehkan mengikuti pendapat Ats-Tsauri, Asy-Sya’bi, Al-Auza’i dan lainnya. Az-Zuhaili, meski bernisbat pada madzhab Syafi’i, kadang beliau melemahkan pendapat dari madzhab Syafi’i di kitab beliau, “Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu”.

Kelompok ini, menggabungkan dua hal, yakni kebaikan bermadzhab (tamadzhub), sekaligus sikap terbuka dan inshaf (adil dan proporsional), bahwa kebenaran tidak terbatas pada empat madzhab saja, juga tidak mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya.

Wallahu a’lam bish shawab.

Leave a Reply