Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Ringkasan Tanggapan Terhadap Kekeliruan Ustadz Hanan Attaki

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Berikut ringkasan tanggapan saya tentang Ustadz HA yang ingin membangun masjid yang disekelilingnya ada live music, break dance, dan lain-lain, juga tentang beberapa kesalahan beliau menisbatkan hal yang tidak pantas terhadap Nabi Musa ‘alaihis salam dan ummul mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

  1. Awal mula saya ikut menulis tentang hal ini, saat membaca ada komentar seseorang terhadap pengkritik Ustadz HA: “Apa kontribusi anda untuk Islam selain cuma nyinyir karya orang lain”. Kemudian, banyak juga saya temukan komentar-komentar senada, termasuk yang ditujukan ke Beberapa waktu sebelumnya, masih tentang ustadz yang sama, saat ramai ungkapan “Nabi Musa preman” dan “Aisyah itu seorang traveller”, ungkapan semisal ini juga muncul.

Seakan jika seseorang itu dianggap telah banyak kontribusinya, ia tak boleh dikritik lagi, meski terbukti salah. Ini kaidah dari mana? Dari sisi yang lain, jujur saja, istilah kontribusi itu pun saat ini sebenarnya cukup bias. Apa ukuran seseorang dianggap lebih berkontribusi untuk dakwah Islam dibandingkan yang lain? (Ini panjang kalau mau diulas, tapi sepertinya tak cukup ruang di sini)

  1. Ada pula yang dengan alasan ukhuwwah, mengajak untuk tak mengkritik sang ustadz. Atau dengan bahasa lain, cari waktu yang tepat untuk mengkritik, yang entah kapan itu, karena faktanya kesalahan-kesalahan yang serupa seperti terus Ini konsep ukhuwwah dari mana?

Ukhuwwah Islamiyyah tak menafikan amar ma’ruf nahi munkar. Mengkritik kesalahan sang ustadz di depan umum pun, bukan sesuatu yang keliru. Karena kesalahannya terpublikasi luas, bahkan dipublikasi oleh sang ustadz sendiri, tanpa merasa yang ia lakukan itu keliru. Bahkan membela diri saat diberi kritik.

Jika kita benar-benar berkasih sayang kepada umat Islam dan du’atnya, tentu kesalahan seperti ini tak akan kita diamkan. Mendiamkan kesalahan, yang kemudian menyebabkan orang lupa bahwa itu sebuah kesalahan, adalah sesuatu yang buruk. Orang sangat mungkin menganggap kemungkaran bukan sebuah kemungkaran, karena terlalu biasa terjadi di hadapannya.

  1. Apakah kesalahan Ustadz HA ini benar-benar salah, atau kesalahpahaman saja, atau cuma salah komunikasi atau? Zhahirnya, itu sebuah kesalahan. Masjid dengan konsep anak muda, ada live music, ada break dance, hip hop, musik akustik, ada skate park, dan lain-lain, ini terlihat kurang adab terhadap Kecuali jika beliau menjelaskan bahwa semua istilah itu, berbeda dengan yang dipahami oleh keumuman orang. Jika memang seperti yang ada di benak kita, maka itu kekeliruan.
  2. Ada yang mencoba menghubung-hubungkan dengan afiliasi. Padahal kritik saya tak ada hubungannya dengan afiliasi apapun. Mau dia ustadz IM, ustadz JT, ustadz Salafi, ustadz Asy’ari-Sufi, ustadz HTI, ustadz ABC, ustadz Indofood, ustadz Cap Bango, apapun, jika melakukan kekeliruan yang sama, tetap layak dikritik. Bukan masalah afiliasinya apa, tapi persoalannya adalah, ia keliru atau tidak.

Saya tahu, orang tertentu misalnya, jika yang salah ustadz dari kalangan haraki, cepat ia hujat, sedangkan jika dari afiliasinya sendiri, cenderung diam, menyembunyikan, bahkan membenarkan. Juga sebaliknya, sebagian kalangan, kalau yang salah dari Salafi misalnya, cepat dicerca, sedangkan jika dari afiliasinya sendiri, tidak. Demikian juga dengan afiliasi-afiliasi lainnya. Kalau saya bagaimana? Saya tidak memperhatikan itu semua. Kesalahan adalah kesalahan, dari afiliasi manapun ia. Begitu juga, yang benar tetap benar, dari afiliasi manapun.

  1. Kok antum mengkritik ustadz HA, padahal kan kontribusi beliau dalam dakwah besar? Masalah besar atau tidak, mungkin akan sangat relatif, tergantung dari mana kita melihatnya.

Hanya saja, kritikan saya sama sekali tidak menafikan apresiasi kebaikan kepada sang ustadz. Orang-orang yang tidak pernah shalat sebelumnya misalnya, kemudian karena dakwah sang ustadz, jadi rajin shalat, insyaallah sang ustadz akan mendapatkan pahalanya. Demikian juga untuk kebaikan- kebaikan lainnya.

Ini pun saya lakukan, misalnya kepada Ustadz YM yang saat ini sudah jatuh sekali di pandangan sebagian orang, dituduh munafik, dan lain-lain. Saya sendiri tidak sepakat dengan beberapa tindakan beliau, termasuk konsep sedekah beliau yang “agak gimana gitu”. Tapi saya tetap mengapresiasi beliau, terutama usaha beliau dalam melahirkan para penghafal Al- Qur’an.

Jadi, kritik bukan berarti tak mengapresiasi kontribusi. Demikian pula, mengapresiasi kontribusi, bukan berarti jadi haram mengkritik. Ibnu Taimiyyah, meski sering mengkritik kalangan Asy’ariyyah, beliau tak menafikan kontribusi mereka dalam dakwah Islam. Atau sebaliknya, Syaikh ‘Ali Jum’ah, meski mengkritik pegangan aqidah Ibnu Taimiyyah, tetap mengakui keilmuan beliau.

Masalahnya, para penggemar sang ustadz, dan sebagian warganet lain yang kurang memahami hal ini, melihat jika sang ustadz dikritik, maka itu berarti menghujat, menghina, dll. Akhirnya muncul serangan balik kepada si pengkritik (yang sebenarnya sangat tak relevan). Cara-cara semacam ini harus dihentikan, karena tak akan baik bagi perkembangan dakwah Islam ke depannya. Seakan kalau orang sudah menjadi da’i, kemudian punya banyak follower, lalu tak boleh dikritik lagi.

  1. Alih-alih mengkritisi sang ustadz, proporsi saya lebih besar untuk mengkritisi para pembela sang ustadz. Saya benar-benar tak memahami cara berpikir mereka. Jika mereka menganggap sang ustadz tak salah, tinggal ditunjukkan bahwa tuduhan penuduh keliru, dengan menjelaskan poin-poinnya. Tapi itu juga tak dilakukan (sepengetahuan saya). Atau menggunakan pembelaan yang menunjukkan sang ustadz tidak keliru, tapi argumentasinya terlalu lemah, dan sudah dibantah juga.

Jika mereka menganggap sang ustadz memang keliru, lalu mengapa sibuk membela?

  1. Kesalahan yang perlu ditutupi itu kesalahan tersembunyi, yang tak diketahui banyak orang. Semisal kita melihat seorang laki-laki shalih yang berkhalwat dengan perempuan non- Dan tidak ada yang tahu hal ini, kecuali kita. Maka kita perlu menasehatinya secara tersembunyi, dan tidak membuka aibnya tersebut ke tempat umum.

Sebaliknya, jika ada kesalahan yang terpublikasikan, bahkan dipublikasikan oleh orang itu sendiri, bahkan tanpa sedikit pun merasa salah. Maka perlu mengkritiknya secara terbuka, agar orang-orang yang tak tahu, menjadi tahu bahwa hal itu keliru. Bukan malah ditutup-tutupi, dengan alasan menutup aib seseorang. Ini peletakan konsep Islam yang salah tempat.

  1. Kesalahan Ustadz HA itu bukan sengaja mencela Nabi dan Ummul Mu’minin. Jika sengaja, memang bisa dibawa ke bab Bukan juga sekadar “salah ucap biasa”, “kepeleset lidah biasa”. Seperti contoh dalam Hadits, orang yang saking gembiranya mengatakan, “Engkau hambaku, dan aku Tuhanmu”. Salah ucap itu mungkin karena emosi kurang stabil, seperti terlalu gembira, terlalu sedih, terlalu gugup, dan semisalnya.

Bukan juga kekeliruan karena “kurang referensi”, seperti seorang dai yang bingung ketika ditanya ‘Arsy makhluk atau bukan (yang ini agak parah juga sih, karena perkaranya ma’lum minad diin bidh dharurah), atau menyatakan Imam Malik bin Anas rahimahullah adalah putra dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.

Kesalahan beliau, karena “terlalu memaksakan diri terjun ke lingkungan anak gaul dan bahasa mereka”. Akhirnya, demi menarik simpati anak-anak gaul tersebut, beliau secara sadar memilih diksi yang terkesan kurang adab kepada Nabi dan Ummul Mu’minin. Padahal, cara berbicara dan pilihan kata anak gaul tersebut, tidak selalu pantas dan layak diucapkan oleh orang-orang baik.

  1. Saya pribadi, baik mengapresiasi, atau mengkritisi, dilandasi oleh semangat dan kecemburuan dalam agama, dan sesuai ilmu yang saya Mungkin benar, bisa jadi juga keliru.

Apresiasi atau kritik yang saya berikan, sama sekali bukan karena kesamaan atau perbedaan afiliasi, kubu, kelompok, dan lain-lain. Bahkan, pengamatan saya, semua sikap berlebihan (ifrath maupun tafrith) dalam membela atau mengkritik adalah karena ini. Semua yang dianggap satu kubu didukung terus, meski jelas kesalahannnya. Atau, karena beda kubu, dicari-cari terus kesalahannya, meski tak salah. Ini sikap ta’ashshub yang dicela Islam.

Timbangan kita adalah Islam, berlandaskan ilmu, dan sikap inshaf (proporsional). Jika jelas salah, meski teman dekat, harus tetap dikritik. Jika benar, meski beda afiliasi, harus tetap dikatakan benar.

Leave a Reply