Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Adakah Yang Bermasalah Pada Konsep Tabanni (Adopsi pendapat) Ala HT?

Oleh: Muhammad Abduh Negara

1. Dalam kitab-kitab ushul fiqih, disebutkan cara kita mengamalkan atau memilih pendapat yang digali dari dalil-dalil syari’i itu ada dua, yaitu ijtihad dan Yang mampu berijtihad, dia berijtihad. Yang tidak mampu, ia wajib bertaqlid. Ijtihad itu bertingkat-tingkat. Demikian juga taqlid, ia bertingkat- tingkat.

Namun, baik ijtihad dan taqlid, itu atas pilihan sendiri. Si A misalnya bertaqlid pada Imam Asy-Syafi’i, karena ia menganggap Imam Asy-Syafi’i layak ditaqlidi, dan ia merasa qana’ah dengan keilmuan Imam Asy-Syafi’i.

2. Tabanni (pengadopsian pendapat), dalam ketentuan HT itu sebenarnya taqlid atau ijtihad Sampai bagian ini, tidak masalah, dan memang begitulah ketentuannya.

Masalahnya terjadi, saat orang yang ingin gabung atau sudah gabung dengan HT, mengadopsi (entah melalui ijtihad atau taqlid) satu atau beberapa pendapat yang berbeda dengan HT. Nah, di titik ini HT memberikan dua opsi:

a. Tetap bertahan dengan pendapat yang diadopsinya, dan keluar dari HT.

b. Bertahan di HT, dan meninggalkan pendapat yang diadopsinya, dan mengadopsi pendapat yang diadopsi HT.

Sampai pada titik ini pun sebenarnya terlihat tak masalah. Mungkin akan ada yang berargumentasi, wajar saja organisasi membuat peraturan yang wajib ditaati anggotanya. Sepakat bertahan, tak sepakat keluar. Masalahnya, tabanni ini atas pendapat (ra’yu) yang sangat tergantung ilmu, wawasan, dan kecenderungan seseorang, bukan atas aturan administrasi yang wajar diikuti semuanya.

Selain itu, yang mengambil pilihan (a), sebenarnya tidak diinginkan HT. Menurut mereka ini bermasalah. Hal ini lalu berlanjut ke narasi wajibnya ikut dakwah dengan konsep khas ala HT dan bergabung di HT, dan yang tidak ikut telah melakukan dosa besar. Jadi, mereka seakan hanya memberikan pilihan (b) saja. Tinggalkan pendapat yang anda adopsi sebelumnya, dan pindah ke pendapat yang diadopsi HT.

3. Konsep “berpindah dari pendapat sebelumnya, ke pendapat HT, karena menganggap bergabung ke HT itu sebuah kewajiban”, itu yang Tidak ada dalil nash yang menunjukkan hal itu. Kaidah “maa laa yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib” pun tidak tepat dan terlalu dipaksakan, seakan dakwah yang haq hanya dakwah mereka.

Kalau seseorang pindah pendapat atau pindah madzhab, karena perjalanan intelektualnya sendiri, itu tak masalah, dan sudah biasa terjadi di kalangan ulama dan penuntut ilmu. Tapi, pindah pendapat atau madzhab, karena “terpaksa”, karena “diancam” melakukan dosa besar meninggalkan HT, ini yang bermasalah.

4. HT (dan/atau aktivisnya) sering menyajikan contoh, sebagian Shahabat yang meninggalkan pendapatnya, dan mengikuti pendapat khalifah (Al-Khulafa Ar-Rasyidin), sebagai landasan kebolehan konsep tabanni ala HT (dengan kaidah “amrul imam yarfa’ul khilaf”). Namun, ini bermasalah lagi dari sisi:

a. Shahabat saat itu, tak benar-benar meninggalkan pendapat Mereka hanya tak lagi mengemukakan pendapatnya tersebut, karena kepala negara telah membuat keputusan negara. Para Shahabat itu tidak meninggalkan pendapatnya kemudian memilih pendapat Khalifah. Namun, mereka menerima pendapat khalifah sebagai sebuah keputusan negara, dan memang seperti itu ketentuannya.

Ini berbeda dengan HT, yang meminta anggotanya meninggalkan sama sekali pendapat lama yang diikutinya, dan diwajibkan mengadopsi pendapat HT, mengamalkan sekaligus mendakwahkannya.

b. Qiyas antara pimpinan HT dengan khalifah, juga tidak tepat. Karena keadaannya jelas berbeda. Khalifah itu kepala negara kaum muslimin, terkait banyak hal dengan kemaslahatan kaum Sedangkan pimpinan HT, hanya pimpinan organisasi, yang anggotanya bahkan minoritas kaum muslimin.

5. Kemudian, tentang “menegakkan Khilafah”, atau dengan istilah yang lebih luas “memperjuangkan kembali kebangkitan Islam”, itu tak terikat dengan satu harakah tertentu. Artinya, tak wajib ikut harakah tertentu. Yang diperlukan adalah kontribusi kita sesuai keahlian dan kemampuan kita. Setiap perjuangan di ranah apapun, merupakan batu bata yang berkontribusi membangun rumah peradaban Islam.

Yang diperlukan sebenarnya duduk bersamanya para ulama kaum muslimin untuk menyatukan pandangan dan memimpin umat. Ini masih jauh sepertinya, tapi itulah yang diperlukan. Perjuangan Islam tak dimenangkan oleh satu kelompok saja, tapi harus dari syura kaum muslimin seluruhnya atau mayoritasnya.

Aksi 212, meskipun itu masih kecil dan mungkin banyak kekurangan, paling tidak menunjukkan bahwa umat ini ingin bersatu, dan mereka bersatu tanpa sekat organisasi, harakah, dan madzhab. Aksi 212 ini gambaran kecil tentang bagaimana kemenangan Islam nantinya.

6. Artinya, pernyataan HT dan/atau aktivis HT bahwa, “Anda harus mentabanni pendapat HT, karena anda wajib gabung HT, untuk memperjuangkan Islam”, ini tidak tepat. Silakan ikut HT, sebagaimana silakan ikut IM, ikut Tabligh, ikut NU, ikut Muhammadiyyah, atau bangun pesantren, dirikan sekolah, dan lain-lain, selama itu tujuannya untuk kontribusi membangun peradaban Islam dan tidak jatuh pada fanatisme buta pada kelompok.

Setiap orang punya potensi berbeda, ditambah lagi para ulama pun punya ijtihad masing-masing dalam langkah membangun peradaban, maka menyatakan hanya satu kelompok yang bisa memperjuangkannya, atau hanya konsep yang digagas kelompoknya yang ‘alal haq, sehingga setiap orang wajib bergabung di dalamnya, ini pernyataan yang terlalu berlebihan.

Kita berharap dan berupaya, semua kontribusi ini, akan menyatu dan menguat, dengan semakin dekatnya para pimpinan umat (terutama ulama), dan mereka bisa berlapang dada terhadap perbedaan pendapat yang ada. Mereka tak lagi menjadikannya bahan keributan, dan lebih memilih duduk bersama, melangkah bersama memimpin umat.

Catatan Tambahan:

Anggota HT wajib mengadopsi pendapat HT di semua kitab mutabannatnya (kitab resmi HT) yang jumlahnya lebih dari 20 kitab, yang memuat bahasan aqidah, fiqih ibadah, fiqih muamalah, ushul fiqih, dll, dan tidak boleh menyelisihinya sedikit pun.

Jadi jika ada yang menyatakan bahwa anggota HT hanya terikat konsep politik HT, itu tidak benar.

Leave a Reply