Oleh: Muhammad Abduh Negara
Sebagian ulama menetapkan bahwa “amr” (perintah) itu hanya berlaku dari pihak yang lebih tinggi derajatnya kepada pihak yang lebih rendah. Jika dari pihak yang setara, atau dari pihak yang lebih rendah derajatnya kepada pihak yang lebih tinggi, tidak disebut “amr”. Menurut Wahbah Az-Zuhaili, ini adalah pendapat Hanafiyyah dan Hanabilah.
Adapun pendapat yang ashah (paling shahih) di kalangan Syafi’iyyah, sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari, hal tersebut tidak disyaratkan. Tidak disyaratkan sifat ‘uluw maupun sifat isti’la dalam “amr”. ‘Uluw maksudnya, pihak yang memberi perintah lebih tinggi derajatnya dari yang menerima perintah. Sedangkan isti’la maksudnya, perintah diberikan dalam bentuk meninggi. Jadi sifat ‘uluw berkaitan dengan pihak yang memberi perintah, sedangkan isti’la berkaitan dengan cara memerintah.
Dalil Syafi’iyyah bahwa “amr” tersebut tidak disyaratkan sifat ‘uluw dan isti’la adalah firman Allah ta’ala yang menceritakan tentang perkataan Fir’aun kepada para menterinya:
فَمَاذَا تَأْمُرُونَ
Artinya: “Lalu apa yang kalian perintahkan?” (QS. Al-A’raf [7]: 110)
Dalam ayat di atas, saran dari para menteri Fir’aun disebut dengan ungkapan “amr”, padahal kedudukan mereka lebih rendah dari Fir’aun, dan jelas mereka tidak akan berani berkata meninggi kepadanya, karena mereka meyakini bahwa Fir’aun adalah ilah mereka (yang mereka sembah). Ini menunjukkan, tidak disyaratkan ‘uluw dan isti’la pada “amr”.
Muhammad Hasan Hitu menyatakan, pembedaan thalab (permintaan atau tuntutan), bahwa jika dari pihak lebih tinggi ke pihak lebih rendah disebut “amr”, jika dari pihak yang setara disebut “iltimas”, dan jika dari pihak lebih rendah ke pihak lebih tinggi disebut “sual” (atau “du’a”, sebagaimana disebutkan oleh Ad-Dimyathi”, pen), itu merupakan istilah yang digunakan oleh ulama balaghah, ulama manthiq, dan lainnya.
Adapun ulama ushul fiqih (ushuliyyun), menyebut semua hal tersebut dengan “amr”, tanpa membedakannya.
Wallahu a’lam.
Rujukan:
1. Ghayah Al-Wushul Ila Syarh Lubb Al-Ushul, karya Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari, Halaman 326, Penerbit Dar Al-Fath, ‘Amman, Yordania.
2. Al-Wajiz Fi Ushul At-Tasyri’ Al-Islami, karya Dr. Muhammad Hasan Hitu, Halaman 132, Penerbit Muassasah Ar-Risalah, Beirut, Libanon.
3. Ushul Al-Fiqh Al-Islami, karya Dr. Muhammad Hasan Hitu, Juz 1, Halaman 214-215, Penerbit Dar Al-Fikr, Damaskus, Suriah.
4. Syarh Matn Al-Waraqat, karya Imam Jalaluddin Al-Mahalli, Wa Ma’ahu Hasyiyah Al-Imam Ahmad bin Muhammad Ad-Dimyathi, Halaman 61, Penerbit Muassasah Ar-Risalah, Beirut, Libanon.
Leave a Reply