Oleh: Muhammad Abduh Negara
Pertama, awam yang dimaksud di sini adalah orang yang tidak belajar ilmu syar’i secara serius, berbeda dengan penuntut ilmu (thalabatul ‘ilm) yang belajar ilmu syar’i secara serius dan telah menguasai sekian ilmu dan pembahasan.
Kedua, dengan pengertian awam di atas, kita bisa katakan, pada perkara khilafiyyah ijtihadiyyah, yang diperselisihkan oleh para ulama mu’tabar, dia tidak punya kemampuan mengetahui pendapat mana yang benar dan mana yang keliru. Karena itu, tugasnya sederhana saja, ikuti salah satu pendapat yang ada, yang dia punya ilmu tentangnya dan dia tenang dalam mengikutinya. Cukup. Tidak perlu menyibukkan diri mencari tahu, mana pendapat yang rajih dan mana yang tidak, karena ‘maqam’-nya belum sampai.
Ketiga, untuk mendapatkan ketenangan dalam mengikuti pendapat ulama, si awam ini bisa saja bertanya kepada mufti yang dia percaya keilmuannya, “Dalam perkara ini, saya harus mengikuti pendapat yang mana?”, dan jawaban mufti itulah yang dia amalkan. Namun catatannya, tempat dia bertanya (mufti) di sini, haruslah orang yang memang benar-benar berilmu dan wawasannya terhadap ikhtilaf ulama cukup luas. Selain itu, dia hanya boleh memilih satu orang saja pada posisi ini. Jika muftinya banyak, ya dia akan tetap bingung.
Keempat, karena itu awam yang bertanya kepada banyak ustadz tentang pendapat mana yang harus dia ikuti, adalah sikap yang salah. Satu, sang ustadz belum tentu layak jadi mufti. Ada ustadz yang punya kemampuan menjadi mufti, ada yang tidak mampu. Dua, tujuan dia bertanya pada mufti adalah untuk mengamalkan hasil fatwa tersebut dan menenangkan hatinya dalam amal tersebut. Kalau dia bertanya pada banyak mufti, ya ujungnya dia malah bingung.
Kelima, si awam akan bisa mengetahui pendapat mana yang benar dan mana yang keliru, ketika dia sudah beranjak dari keawamannya, mulai belajar ilmu syar’i secara serius, mulai mendalami ilmu-ilmu alat, mulai menelaah secara tekun berbagai hukum dan hikmah dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, mulai berinteraksi dengan argumen dan ikhtilaf ulama, selama belasan atau puluhan tahun. Setelah mencapai titik ini, baru dia layak berkata, “Yang rajih menurut saya adalah pendapat Imam Fulan…”
Keenam, melanjutkan poin kelima, ketika dia sudah mampu memilih pendapat yang rajih dari yang marjuh, kita tetap harus katakan, hasil tarjihnya itu sifatnya nisbi. Rajih menurutnya, dan belum tentu rajih menurut selainnya. Karena itulah yang bisa dicapai oleh manusia pada perkara khilafiyyah ijtihadiyyah yang mu’tabar, sealim apapun dia. Bahkan ini juga berlaku pada para imam besar seperti asy-Syafi’i dan Abu Hanifah. Contohnya, yang rajih menurut Imam asy-Syafi’i, qunut shubuh itu sunnah, sedangkan yang rajih menurut Imam an-Nu’man, qunut shubuh itu tidak disyariatkan. Tarjih itu nisbi, tergantung siapa yang merajihkannya.
Ketujuh, pengecualian pada pendapat yang jelas waham, batil atau menyimpang. Pada kondisi ini, awam yang masih berada pada kondisi keawamannya, bisa saja mengetahui kesalahan dari pendapat sejenis ini. Contoh waham misalnya, pernyataan seorang ustadz yang mengatakan rukun wudhu itu ada dua. Ini jelas waham, karena nash al-Qur’an dan kesepakatan ulama menafikannya, yang bahkan penuntut ilmu pemula pun tahu kesalahan ini. Contoh menyimpang misalnya, seperti perkataan tokoh liberal yang menganggap aktivitas ‘kumpul kebo’ sebagai milkul yamin sehingga halal hukumnya. Ini pendapat batil dan menyimpang, dan yang berpendapat seharusnya dihukum berat oleh pengadilan.
Kedelapan, melanjutkan poin sebelumnya, bagaimana cara awam mengetahui kesalahannya? Jawabannya, dari kritik banyak orang (ulama dan penuntut ilmu) atas kesalahan atau kebatilan pendapat tersebut, serta argumentasi yang mereka ajukan. Perlu dicatat, orang awam ini disebut awam karena wawasannya yang dangkal dalam ilmu syar’i, bukan karena dia tak mampu menggunakan akal pikirannya dengan baik. Dengan akal sehatnya, dan menyimak sekian kritik dari dari ahlinya, dia akan sadar kesalahan atau kebatilan pendapat tersebut. Jika sebelumnya dia mengikuti pendapat yang salah atau batil tersebut, maka wajib baginya ketika tahu itu salah atau batil, untuk meninggalkan pendapat tersebut.
Kesembilan, kembali pada rajih-marjuh pendapat, meski tarjih itu nisbi, ulama yang hasil penelitiannya menyatakan pendapat A itu rajih, maka wajib baginya mengikuti pendapat tersebut, karena baginya itulah pendapat yang lebih dekat pada kebenaran dan lebih sesuai dengan yang ditunjukkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Dia tidak bisa beralasan, bahwa tarjih itu nisbi, sehingga dia bisa sekehendak hati mengambil pendapat yang manapun. Yang seperti ini, bukan ulama, tapi ahli bid’ah.
Kesepuluh, lalu bagaimana dengan ulama yang memfatwakan pendapat yang tidak dia rajihkan? Ini persoalan berbeda. Fatwa itu banyak sisi yang perlu diperhatikan. Sehingga, kadang pendapat yang dianggapnya paling kuat dari sisi dalil, akan berisiko lebih besar bagi mustafti, atau akan mendatangkan masyaqqah bagi mustafti, dan seterusnya, sehingga mufti perlu memfatwakan pendapat lain, yang lebih selaras dengan kondisi mustafti saat itu. Wallahu a’lam.
Leave a Reply