Oleh: Muhammad Abduh Negara
Relatif dalam KBBI diartikan: tidak mutlak, nisbi. Sedangkan nisbi sendiri artinya dalam KBBI: bergantung kepada orang yang memandang.
Bisa disimpulkan, ungkapan “Kebenaran dalam fiqih itu bersifat relatif” artinya, kebenarannya tidak mutlak, dan sangat tergantung pada sudut pandang masing-masing orang.
Benarkah seperti ini?
1. Jika fiqih diartikan sebagai “produk ijtihad” (ini saya persingkat), sebagaimana dikemukakan sebagian ulama, maka ia bersifat ijtihadi. Namun, jiika fiqih diartikan sebagai “ajaran agama yang bersifat amaliyah”, maka ia ada yang bersifat qath’i, ada yang bersifat zhanni ijtihadi.
2. Perkara yang qath’i sekaligus mujma’ ‘alaihi, bahkan ma’lum minad diin bidh dharurah (semua muslim harusnya tahu), misalnya tentang kewajiban shalat lima waktu, wajibnya puasa Ramadhan, wajibnya zakat pada harta tertentu bagi yang mampu, wajibnya haji bagi yang mampu, halalnya jual-beli dan haramnya riba, haramnya zina, dan semisalnya, ini semua tingkat kebenarannya 100 %. Bukan ijtihadi, apalagi nisbi atau relatif.
3. Pada perkara yang sifatnya zhanni ijtihadi, semisal hukum shalat jamaah, hukum qunut shubuh, hukum transaksi MLM, hukum gopay, hukum demonstrasi, dll, meskipun ia membuka ruang untuk berbeda, tapi tak juga bisa dikatakan semua orang boleh punya sudut pandang masing-masing.
Islam menetapkan adanya otoritas untuk berijtihad kepada orang yang memenuhi kriteria dan syarat tertentu, bukan pada setiap orang. Artinya, meskipun ada ruang untuk berbeda, tapi ia hanya berhak diajukan oleh ahli ijtihad, itu pun dengan ketentuan proses ijtihadnya bisa diterima. Artinya, tak semua orang bisa menilai dengan sudut pandang masing-masing. Pendapat selain ahli ijtihad, tidak teranggap (tidak mu’tabar).
4. Dalam pemilihan pendapat hasil ijtihad ulama pun, setiap orang dituntut untuk mengambil pendapat yang terkuat, semampu dia. Bagi yang mampu mentarjih (dan ini sangat berat), ia harus mentarjih pendapat-pendapat yang ada. Namun bagi yang tak mampu, dan memilih taqlid, maka itu pun adalah prosesnya memilih pendapat yang terkuat, tapi ia tak melihat pada pendapatnya, tapi pada siapa yang mengemukakan pendapat tersebut.
Bahkan, jika ia memilih pendapat dari mufti yang lebih mudah ia temui, itupun proses pemilihan pendapat juga. Sesuai kapasitasnya.
Artinya, tidak ada “kebebasan tanpa batas” dalam pemilihan pendapat fiqih, apalagi pengajuan pendapat fiqih.
5. Pernyataan “Kebenaran dalam fiqih itu relatif”, bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang tak punya kapasitas dalam ijtihad, bahkan yang punya niat buruk terhadap Islam, atau yang terpengaruh pemikiran kaum liberal, untuk mengajukan berbagai “fiqih baru”, yang tidak dibangun melalui proses ijtihad sebagaimana metode yang telah disusun dan disepakati para ulama.
Wallahu a’lam.
Leave a Reply