Oleh: Muhammad Abduh Negara
Seorang doktor filsafat lulusan UIN yang agak “mabok sains” menyatakan mempelajari fiqih itu sangat mudah dan tidak ada inovasi, benarkah hal tersebut?
Jawabannya, tentu tidak. Ada berbagai sisi kesulitan dalam mempelajari fiqih, yang sebagiannya akan saya urai di bawah ini.
1. Memahami ‘ibarah (ungkapan) kitab fiqih klasik itu sendiri, tidak mudah. Coba tanya yang pernah belajar fiqih Syafi’i, kemungkinan besar di awal belajar pernah keliru dalam memahami batasan aurat, karena ia dibahas dalam bab shalat, saat membahas syarat sah shalat, ia juga dibahas dalam pengantar bab pernikahan, saat membahas hukum nazhar (melihat) perempuan. Ringkasnya, aurat dalam madzhab Syafi’i itu dibedakan antara aurat dalam shalat, aurat di hadapan mahram, aurat di hadapan ajnabi (non mahram) dan seterusnya.
Sebagai contoh, ada yang pernah mengira, aurat budak perempuan itu secara mutlak sama dengan aurat laki-laki, yaitu antara pusar hingga lutut. Padahal, itu aurat sang budak saat shalat. Adapun saat di hadapan ajnabi, auratnya sama dengan perempuan merdeka. Aurat laki-laki pun sebenarnya ada perincian.
Beberapa waktu lalu, saya pernah mengkritisi seorang ustadz yang membela kebolehan musik dengan mengutip kitab “al-Umm” karya Imam asy-Syafi’i, dan saya pernah tunjukkan bahwa kutipan beliau itu keliru, dan sang ustadz salah memahami ungkapan Imam asy-Syafi’i dalam kitab tersebut. Padahal ini ustadz doktor lulusan Timteng.
Ringkasnya, memahami ‘ibarah kitab klasik itu sendiri tidak mudah. Perlu pemahaman yang baik terhadap dasar-dasar keilmuannya, rajin mencatat faidah dari guru, dan tekun muthala’ah kitab-kitab muthawwalat (kitab-kitab tebal dalam bidang ilmu tersebut). Yang mengatakan hal ini gampang, coba sodorkan kitab Fathul Bari, al-Muhalla, al-Umm dan/atau al-Mustashfa, lalu minta dia buka kitabnya secara acak, setelah itu minta dia menerjemahkan dan menjelaskan satu paragraf yang terdapat dalam halaman tersebut.
2. Menghubungkan satu bahasan dengan bahasan lain, atau satu bidang ilmu dengan bidang ilmu lain, itu tidak mudah. Coba perhatikan kalimat ini, “Kalangan Malikiyyah menyatakan bahwa Hadits Khiyar Majlis itu dibawa pada makna majazinya, yaitu tafarruq dengan lisan, bukan tafarruq dengan badan, agar tidak menyelisihi amal ahli Madinah.” Coba anda jelaskan hal-hal berikut ini:
(a) Apa itu Malikiyyah?
(b) apa itu makna majazi?
(c) Apa itu tafarruq dengan lisan?
(d) Apa itu tafarruq dengan badan?
(e) Apa itu amal ahli Madinah?
(f) Mengapa Hadits tersebut harus dimaknai dengan hal yang tidak menyelisihi amal ahli Madinah?
(g) Apakah pernyataan di atas valid dalam menukil pendapat Malikiyyah?
Untuk memahami satu kalimat ringkas saja, seperti contoh di atas, kita perlu memahami berbagai bahasan, baik fiqih maupun ushul fiqih.
Demikian pula, untuk memahami satu bahasan, seringkali kita harus memahami bidang studi fiqih, ushul fiqih, Hadits, mantik, nahwu, balaghah, dan lain sebagainya. Kalau tidak, kemungkinan besar kita salah memahami bahasan tersebut, atau minimal pemahaman kita sangat dangkal.
Contoh “aurat budak perempuan” pada poin 1, juga bisa menjadi contoh untuk poin 2 ini.
3. Ilmu fiqih punya keistimewaan, yaitu ia terus hidup dan mengalami pembaruan, karena yang dibahas dalam ilmu fiqih adalah “perbuatan mukallaf (orang yang terkena kewajiban hukum syariat)”, dan perbuatan mukallaf itu senantiasa berkembang mengikuti perkembangan zaman. Imam asy-Syafi’i tidak pernah membahas tentang hukum top up saldo shopeepay, karena faktanya belum ada di masa beliau, ahli fiqih saat ini membahas hukum top up tersebut.
Di masa lalu tidak ada bahasan hukum shalat di pesawat, sekarang sudah ada. Nanti, entah kapan, kalau manusia sudah bisa tinggal di bulan atau mars, perlu pembahasan baru untuk fiqih shalat, terkait arah kiblat, penentuan waktu shalat, dan lain-lain. Dulu hanya ada bahasan hukum ‘azl, sekarang sudah ada bahasan tubektomi dan vasektomi. Dan seterusnya.
Untuk menjawab berbagai kasus kontemporer ini, seorang ahli fiqih di masa sekarang perlu menguasai masail fiqih klasik dan menelaah banyak kitab fiqih klasik, untuk merangsang kepekaan nalar fiqihnya. Dia juga perlu menguasai ushul fiqih dengan sangat baik, sebagai bidang ilmu untuk berijtihad. Dia juga perlu penguasaan terhadap dalil al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, qiyas dan lainnya. Dia juga perlu pemahaman yang utuh terhadap fakta kasus yang ingin difatwakan hukumnya. Dia juga perlu memahami kajian maqashid syariah, taghayyur fatwa (perubahan fatwa), dan lain sebagainya.
Apakah ini gampang? Hanya orang dun… tiit, yang mengatakannya gampang.
4. Fiqih itu bukan sekadar hafalan, tapi nalar fiqih, malakah (kompetensi) a.k.a. fiqh an-nafs. Padahal, hafalan pun bukan sesuatu yang mudah. Membangun nalar fiqih dan malakah, lebih sulit lagi. Nalar fiqih dan malakah ini, yang bisa menyampaikan kita pada tingkat “create” dalam taksonomi bloom. “Create” ini dalam istilah fiqih dan ushul fiqih disebut “ijtihad mustaqil” (ijtihad mandiri, merujuk langsung pada dalil-dalil syar’i).
Pada tingkat “create” ini, seorang ahli fiqih bisa melakukan berbagai “inovasi”, baik mengevaluasi pendapat ulama terdahulu dengan realita masa kini (ini bahasan taghayyur fatwa), maupun menjawab berbagai realita kehidupan saat ini melalui sudut pandang syariat, tetap selaras dengan tsawabit Islam (pokok-pokok ajaran Islam yang tetap) sekaligus fleksibel dan kompatibel dengan perkembangan zaman.
Apakah ini sangat mudah?
Tentu tidak.
Leave a Reply