Oleh: Muhammad Abduh Negara
Allah ta’ala berfirman:
فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ . وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
Artinya: “Adapun manusia, jika Tuhannya mengujinya, lalu memuliakannya dan memberikan nikmat padanya (menguji dengan kemuliaan dan kenikmatan harta), maka ia berkata, Tuhanku telah memuliakanku. Adapun bila Tuhannya mengujinya, lalu membatasi rezekinya (berupa harta), maka ia berkata, Tuhanku telah menghinakanku.” (QS. Al-Fajr [89]: 15-16)
Bagaimana Penjelasannya?
Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, dalam kitab Tafsir beliau, menyatakan bahwa dua ayat ini merupakan pengingkaran dari Allah ta’ala terhadap orang yang punya keyakinan atau pemahaman bahwa keluasan rezeki harta merupakan tanda bahwa ia dimuliakan oleh-Nya, dan sempitnya rezeki harta merupakan tanda bahwa ia sedang hina kedudukannya di sisi Allah ta’ala. Cara berpikir seperti ini ditolak dan diingkari oleh Allah ta’ala.
Lalu yang benar bagaimana? Yang benar, keduanya adalah ujian dari Allah ta’ala. Dua keadaan itu, secara zatnya, tidaklah menunjukkan pemuliaan atau penghinaan kepada seseorang.
Allah terkadang meluaskan rezeki (harta) kepada orang yang Dia cintai, pada tempat lain, Dia juga meluaskan rezeki (harta) kepada orang yang tak Dia cintai. Demikian pula sebaliknya, sempitnya rezeki harta kadang terjadi pada orang yang Dia cintai, kadang terjadi pula pada yang tak Dia cintai.
Keduanya adalah ujian. Yang lulus ujian adalah yang tetap dalam ketaatan kepada Allah ta’ala, saat ia berada pada kelapangan harta, maupun saat sempit. Ketika ia diberi nikmat kekayaan, ia bersyukur kepada Allah. Ketika ia fakir harta, ia bersabar.
Lalu bagaimana dengan firman Allah ta’ala dalam Surah Thaha ini:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Artinya: “Dan siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha [20]: 124)
Bukankah pada ayat ini, orang yang berpaling dari peringatan Allah, diancam dengan penghidupan yang sempit, yang artinya sedikitnya harta atau kemiskinan?
Imam Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, menyatakan bahwa maksud “ma’isyatan dhanka” dalam ayat ini konteksnya adalah ketenangan hati dan kelapangan dada. Artinya, orang yang berpaling dari peringatan Allah, hatinya tidak akan tenang dan dadanya terasa sempit, meskipun dari luar ia tampak mendapat banyak kenikmatan.
Wallahu a’lam bish shawab.
Leave a Reply