Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Ushul Fiqih

Apakah Seorang Mujtahid Ahli Bid’ah Dianggap Keberadaannya Dalam Ijma’?

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Salah satu syarat berlakunya ijma’ adalah, adanya kesepakatan seluruh ulama mujtahid di suatu masa. Jika ada satu saja yang berbeda pendapat, ijma’ tidak berlaku. Pertanyaannya, bagaimana jika ada ulama yang punya kapasitas ijtihad, namun ia jatuh pada paham bid’ah dalam agama, apakah keberadaannya mempengaruhi berlaku tidaknya ijma’?

Dr. Wahbah Az-Zuhaili, dalam Ushul Al-Fiqh Al-Islami, membagi keadaan ahli bid’ah ini menjadi dua keadaan.

Pertama, ahli bid’ah yang kebid’ahannya sampai mengingkari perkara yang diketahui dalam Islam secara mutawatir dan dharuri, dan orang yang seperti ini dianggap kafir. Karena dia jatuh kafir, maka keberadaannya tak dianggap sebagai bagian dari umat Islam, dan kesepakatan maupun penyelisihannya tidak diperhitungkan dalam ijma’, bahkan meskipun ia sendiri tidak sadar bahwa ia telah jatuh kafir.

Contohnya, kalangan mujassimah atau musyabbihah, yang menganggap tuhannya sama dengan manusia, memiliki ukuran tujuh jengkal sesuai jengkalnya sendiri. Atau kalangan ghulat syi’ah yang menyucikan ‘Ali dan menganggapnya sebagai tuhan yang layak disembah.

Kedua, ahli bid’ah yang kebid’ahannya hanya membuatnya sesat, namun tidak sampai kafir, seperti bid’ahnya kalangan qadariyyah yang menyatakan manusia menciptakan perbuatannya sendiri dan kemaksiatan itu bukan karena iradah Allah. Atau kalangan Khawarij, yang keluar dari kepemimpinan ‘Ali dan mengafirkannya serta mengafirkan banyak shahabat lain, seperti ‘Utsman dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Atau kalangan rafidhah, yang memihak pada ‘Ali dan menolak kepemimpinan Abu Bakr dan ‘Umar. Keberadaan mereka ini dalam ijma’, diperselisihkan oleh ulama.

Imam Malik, Al-Auza’i, Muhammad bin Al-Hasan, dan sebagian ulama ahlus sunnah lainnya, menyatakan bahwa ahli bid’ah kelompok kedua ini tidak dianggap dalam ijma’. Hal itu karena kesinambungan pemahaman agama mereka itu putus, disebabkan mereka mengafirkan salaf, yang pokok agama kita diambil dari jalur generasi salaf tersebut, dan mereka ini adalah pengikut hawa nafsu dan kelompok sesat.

Sedangkan Abu Bakr Ash-Shairafi menyatakan, mereka ini dianggap dalam ijma’, dan ijma’ tidak berlaku tanpa kesepakatan mereka. Pendapat ini juga dipilih oleh Al-Ghazali, Al-Amidi dan sebagian ulama ushul fiqih lainnya. Mereka berargumen, bahwa ahli bid’ah yang tidak sampai kafir dengan kebid’ahannya tersebut, masih terhitung sebagai bagian dari umat Islam, dan jika mereka ahli ijtihad, maka pendapat mereka dianggap dalam ijma’. Dan status ahli bid’ah seperti ini adalah fasik, dan kefasikan tidak menggugurkan kelayakan seseorang dalam ijtihad.

Wallahu a’lam.

Rujukan: Ushul Al-Fiqh Al-Islami, karya Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Juz 1, Halaman 480-481, Penerbit Dar Al-Fikr, Damaskus, Suriah.

Leave a Reply