Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Apakah Seorang Muslim Wajib Kaya Agar Bisa Menunaikan Zakat Dan Melaksanakan Haji?

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Islam mewajibkan zakat dan haji, bahkan menjadikan keduanya sebagai bagian dari rukun Islam, hal yang sangat penting dalam agama kita. Namun, kewajiban zakat hanya berlaku bagi yang hartanya telah mencapai nishab, jika itu uang berarti harus senilai 20 dinar emas atau 85 gram emas, yang jika dirupiahkan maka sekitar 70 sampai 80-an juta rupiah, dan telah dimiliki satu tahun. Begitu juga kewajiban haji, perlu bayar ongkos naik haji, juga perlu dana tambahan untuk keperluan selama di Tanah Suci, juga uang yang cukup untuk keluarga yang ditinggalkan di tanah air. Mungkin perlu sekitar 50-an juta rupiah per orang.

Lalu, karena kewajiban zakat dan haji hanya bisa dilakukan setelah memiliki uang yang cukup banyak, apakah berarti seorang muslim wajib kaya untuk bisa melaksanakan kewajiban tersebut? Apakah berarti perkataan para motivator bisnis itu benar, bahwa muslim itu wajib kaya? Apakah miskin itu keburukan, karena tidak mampu melaksanakan sebuah kewajiban?

Bukankah jika sebuah kewajiban tidak bisa terlaksana tanpa sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib juga? Jika kewajiban zakat tidak bisa dilaksanakan karena harta belum mencapai nishab, berarti wajib memiliki harta mencapai nishab? Jika kewajiban haji tidak bisa dilaksanakan karena uang belum cukup, berarti wajib punya harta yang cukup agar bisa berangkat haji?

Para ulama ushul fiqih membedakan dua hal:

1. Maa laa yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib (ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب)
2. Maa laa yatimmu al-wujub illa bihi fa laysa bi wajib (ما لا يتم الوجوب إلا به فليس بواجب)

Yang pertama, maknanya adalah sebuah perkara wajib yang tidak bisa dilaksanakan tanpa perkara lain, maka perkara lain itu juga wajib hukumnya. Di sini, perkara wajib yang dimaksud itu sudah wajib untuk dilakukan, namun keabsahannya tergantung perkara lain, maka perkara lain ini juga menjadi wajib.

Misal, kewajiban shalat keabsahannya tergantung pada wudhu, maka wudhu hukumnya juga wajib. Keabsahannya juga tergantung pada tertutupnya aurat saat shalat, maka memakai pakaian yang menutup aurat juga wajib.

Untuk yang pertama ini, sebagian ulama menggunakan redaksi, “maa laa yatimmu wujud al-wajib ilaa bihi fa huwa wajib” (ما لا يتم وجود الواجب إلا به فهو واجب), seperti yang disebutkan oleh Dr. Amjad Rasyid, dalam “Al-Imla ‘Ala Syarh Al-Mahalli Li Al-Waraqat”.

Adapun yang kedua, maknanya adalah sebuah hal yang kewajibannya tergantung pada perkara lain, maka mewujudkan perkara lain tersebut tidak wajib hukumnya. Beda dengan yang pertama, di sini perkara wajib tersebut belum wajib bagi seorang mukallaf karena ada hal yang belum terpenuhi. Nah, apakah hal yang belum terpenuhi itu wajib dipenuhi? Jawabannya, tidak. Seseorang tidak wajib zakat, kecuali jika ia memiliki harta mencapai nishab, lalu apakah ia wajib memiliki harta mencapai nishab? Jawabannya, tidak. Dan bahwa mewujudkan hal semacam ini tidak wajib, ia merupakan hal yang disepakati para ulama, sebagaimana disebutkan oleh Dr. Muhammad Yusri Ibrahim dalam “Awdhah Al-‘Ibarat Fi Syarh Al-Mahalli Ma’a Al-Waraqat”.

Dan ini juga yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari, dalam “Ghayah Al-Wushul Syarh Lubb Al-Ushul”:

وبالمطلق المقيد وجوبه بما يتوقف عليه كالزكاة وجوبها متوقف على ملك النصاب فلا يجب تحصيله

Artinya: “Dan dengan (ta’rif) muthlaq, tidak termasuk yang kewajibannya muqayyad, tergantung pada sesuatu yang lain, seperti zakat yang kewajibannya tergantung pada kepemilikan harta yang mencapai nishab, tidak wajib mewujudkan sesuatu yang lain tersebut.”

Menurut beliau, kewajiban yang tidak berlaku secara mutlak, namun di-taqyid (dibatasi) pada terwujudnya sesuatu yang lain, tidak wajib hukumnya mewujudkan sesuatu yang lain tersebut. Beda halnya dengan kewajiban mutlak, seperti shalat, yang kewajibannya berlaku tanpa tergantung perkara lain, maka mewujudkan hal-hal yang membuat shalat itu menjadi sah, seperti wudhu, wajib hukumnya.

Untuk yang kedua ini, sebagian ulama menggunakan redaksi, “maa laa yatimmu wujub al-wajib illa bihi fa laysa bi wajib” (ما لا يتم وجوب الواجب إلا به فليس بواجب), sebagaimana disebutkan oleh Dr. Amjad Rasyid.

Dari sini jelas, bahasa motivasi yang menyatakan muslim wajib kaya, karena banyak kewajiban yang hanya bisa dilakukan oleh orang kaya, adalah perkataan yang keliru, dan lahir dari pemahaman yang lemah bahkan buruk terhadap agama, khas para pengusung “manhaj motivator”.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika mendapatkan pengaduan dari para shahabat radhiyallahu ‘anhum yang kurang berharta, bahwa mereka tidak bisa bersedekah sebagaimana orang-orang kaya bersedekah, Nabi tidak berkata, “Makanya jadi orang kaya. Kalau miskin jangan lama-lama, biar bisa sedekah yang banyak.”, atau semisalnya. Nabi malah memberikan mereka amal yang bisa mereka lakukan, dan menyatakan itu juga termasuk sedekah, “Setiap tasbih itu sedekah, setiap takbir itu sedekah, …”.

Wallahu a’lam bish shawab.

Leave a Reply