Oleh: Muhammad Abduh Negara
Dr. ‘Ali Jum’ah dalam “Al-Imam Asy-Syafi’i Wa Madrasatuhu Al-Fiqhiyyah” mengkritisi pandangan yang tersebar luas, bahwa Imam Asy-Syafi’i meninggalkan sebagian pendapat lamanya (madzhab qadim) dan membangun pendapat-pendapat barunya (madzhab jadid) di Mesir, karena melihat ada perbedaan tradisi dan kebiasaan penduduk Mesir dibandingkan penduduk Irak, yang menjadi tempat beliau mengasaskan madzhab lama beliau.
Menurut beliau, pandangan ini tidak sesuai dengan fakta. Seandainya benar, alasan beliau mengubah pendapat adalah karena perbedaan tradisi dan kebiasaan, maka penduduk Irak yang mengikuti madzhab beliau harusnya tetap bertahan dengan madzhab qadim, karena itu lebih sesuai dengan kehidupan mereka di Irak. Tapi faktanya tidak seperti itu. Mereka secara umum tetap mengikuti madzhab jadid sang imam.
Selain itu, orang-orang yang meneliti perubahan pandangan Asy-Syafi’i dari madzhab qadim menuju madzhab jadid beliau, menemukan bahwa perubahan itu tidak karena ‘urf atau ‘adah yang berbeda, namun karena kajian dan tarjih terhadap dalil-dalil yang ada.
Demikian juga, pada kasus-kasus tertentu, saat fuqaha Syafi’iyyah lebih menguatkan pendapat madzhab qadim Asy-Syafi’i dari madzhab jadid beliau, mereka meninjaunya dari sisi kekuatan dalil yang digunakan dalam madzhab qadim, bukan karena mereka penduduk Irak sehingga lebih memilih madzhab qadim.
Dr. ‘Ali Jum’ah mengutip pernyataan Imam Ahmad, saat beliau ditanya tentang kitab-kitab Asy-Syafi’i, mana yang lebih beliau pilih dan sukai, apakah kitab-kitab yang ditulis di Irak atau yang di Mesir. Imam Ahmad berkata, “Hendaknya kamu mengikuti kitab-kitab yang beliau tulis di Mesir. Beliau menulis kitab-kitab ini di Irak dan belum menyempurnakannya. Setelah itu beliau ke Mesir dan menyempurnakannya.”
Ada juga riwayat, seorang murid Asy-Syafi’i tidak menulis kata-kata Asy-Syafi’i, setelah dicek, ternyata dia khawatir, karena bisa jadi Asy-Syafi’i mengemukakan pendapat, kemudian mengubahnya, demikian seterusnya. Asy-Syafi’i kemudian berkata, “al-aan hamiya al-wathis”. Maksudnya, beliau perlu menjelaskan hal tersebut.
Seorang mujtahid, jika terdapat dalil shahih di sisinya, wajib baginya mengamalkan kandungannya. Jika kemudian dia menemukan dalil lain yang lebih kuat dari dalil pertama, yang menetapkan hukum yang berbeda, maka wajib baginya untuk meninggalkan pendapatnya yang pertama dan beralih ke pendapat kedua yang ditunjukkan oleh dalil yang lebih kuat tersebut.
Perubahan pendapat ini tidak lahir dari keragu-keraguan dan sikap plintat-plintut, tapi dari kesungguhan dalam meneliti dalil, ijtihad dan cinta kebenaran.
Leave a Reply