Oleh: Muhammad Abduh Negara
Perempuan memiliki dua keadaan, keadaan aurat dan keadaan ibahah (boleh). Keadaan ibahah seorang perempuan adalah saat bersama suaminya, tidak ada aurat antara suami dan istri, dan sang suami boleh melihat seluruh tubuh istrinya. Lalu, apakah suami juga boleh melihat kemaluan istrinya? Ulama Syafi’iyyah terbagi menjadi dua pendapat:
1. Haram suami melihat kemaluan istrinya, demikian juga istri melihat kemaluan suaminya. Ini adalah pendapat Abu ‘Abdillah Az-Zubairi berdasarkan Hadits: لعن الله الناظر والمنظور إليه (Allah melaknat yang melihat kemaluan dan yang dilihat kemaluannya). Sayangnya, Hadits ini adalah Hadits yang batil, sebagaimana disebutkan oleh Al-‘Ajluni dalam “Kasyf Al-Khafa”.
2. Boleh suami dan istri saling melihat kemaluan masing-masing. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala: هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ (Mereka para istri adalah pakaian bagi kalian, dan kalian adalah pakaian bagi mereka) (QS. Al-Baqarah [2]: 187). Juga karena konsekuensi akad nikah adalah kebolehan istimta’ (bercumbu dan bernikmat-nikmat) dengan istri, dan kemaluan istri adalah tujuan utama dari istimta’ tersebut, karena itu tidak layak ia dikecualikan dari anggota tubuh yang lain. Meskipun, kata Al-Mawardi, tidak melihat kemaluan istri itu lebih utama.
Adapun keadaan aurat bagi perempuan, ia terbagi dua, aurat besar (العورة الكبرى) dan aurat kecil (العورة الصغرى). Yang dimaksud dengan aurat besar adalah seluruh tubuh selain wajah dan kedua telapak tangan, sedangkan aurat kecil adalah anggota tubuh antara pusar dan lutut.
Seorang perempuan wajib menutup aurat besarnya pada tiga keadaan:
1. Saat shalat.
2. Saat bersama laki-laki non-mahram, baik si laki-laki itu muslim atau kafir, merdeka atau hamba sahaya, orang baik-baik atau orang fasiq, berakal atau gila, si perempuan wajib menutup aurat besarnya di hadapan mereka semua.
3. Saat bersama khuntsa musykil (orang yang memiliki dua jenis kelamin), karena tubuh perempuan adalah aurat dan tidak boleh melihatnya saat ada syakk (keraguan atau ketidakjelasan), dalam hal ini syakk atas jenis kelamin si khuntsa musykil.
Perempuan wajib menutup aurat kecilnya, dan tidak wajib menutup aurat besarnya, pada tiga kelompok orang:
1. Di hadapan seluruh perempuan, baik punya hubungan kekerabatan atau tidak, merdeka atau budak, muslimah atau dzimmiyyah (kafir yang mendapat perlindungan di negara Islam).
2. Di hadapan laki-laki yang menjadi mahramnya, seperti anaknya, ayahnya, saudaranya dan pamannya, baik dari nasab maupun persusuan.
3. Di hadapan anak kecil yang belum baligh dan belum menarik secara syahwat.
Ada juga beberapa keadaan, yang ulama Syafi’iyyah berbeda pendapat tentang aurat apa yang wajib ditutup oleh perempuan, yaitu:
1. Budak laki-laki yang ia miliki. Abu Ishaq Al-Marwazi dan Abu Sa’id Al-Ishtakhri berpendapat, si perempuan wajib menutup aurat besarnya seperti di hadapan laki-laki non-mahram. Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berpendapat, ia hanya wajib menutup aurat kecilnya saja seperti di hadapan mahramnya, dan pendapat ini juga dihikayatkan dari Abu Al-‘Abbas. Pendapat ketiga, yang wajib ditutup oleh si perempuan adalah seluruh tubuh, kecuali lengan bawah (dzira’) dan betis.
2. Laki-laki lanjut usia dan telah kehilangan dorongan syahwatnya. Ada dua pendapat tentang aurat perempuan di hadapannya. Pertama, si perempuan wajib menutup aurat besarnya, sebagaimana di hadapan laki-laki non-mahram lainnya. Pendapat kedua, hanya wajib menutup aurat kecilnya saja, sebagaimana di hadapan anak kecil.
3. Laki-laki yang terpotong dzakarnya (penisnya). Ada dua pendapat. Pertama, perempuan wajib menutup aurat besarnya di hadapan orang ini, sebagaimana di hadapan laki-laki non-mahram lainnya. Kedua, ia hanya wajib menutup aurat kecilnya saja, sebagaimana di hadapan anak kecil.
Adapun di hadapan laki-laki yang impoten, terpotong dua buah pelirnya, serta laki-laki kemayu yang menyerupai perempuan, batas auratnya sama dengan di hadapan laki-laki pada umumnya.
Wallahu a’lam.
Rujukan:
1. Al-Hawi Al-Kabir Fi Fiqh Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i, karya Imam ‘Ali bin Muhammad Al-Mawardi, Juz 2, Halaman 170-171, Penerbit Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut, Libanon.
2. Kasyf Al-Khafa Wa Muzil Al-Ilbas, karya Al-‘Allamah Isma’il bin Muhammad Al-‘Ajluni, Juz 2, Halaman 503, Penerbit Maktabah Al-‘Ilm Al-Hadits, Damaskus, Suriah.
Leave a Reply