Oleh: Muhammad Abduh Negara
Umat Islam bersatu sejak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman. Setelah itu, lahirlah fitnah, ‘Utsman terbunuh oleh tangan-tangan pemberontak. Terjadi kekacauan di tubuh umat Islam. ‘Ali bin Abi Thalib dibai’at menjadi pemimpin kaum muslimin. Tugas berat menanti, menyelesaikan kasus pembunuhan ‘Utsman.
‘Ali memilih menenangkan suasana dan menunda qishash atas pembunuh ‘Utsman. Sedangkan beberapa pihak lain mendesak ‘Ali menyegerakan hukuman bagi pembunuh ‘Utsman, salah satu dan yang paling menonjol adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Ujungnya, Mu’awiyah tidak mau membaiat ‘Ali. Umat Islam terbelah, pendukung ‘Ali dan pendukung Mu’awiyah. Kemudian lahir kelompok ketiga, Khawarij namanya. Mereka kafirkan ‘Ali dan Mu’awiyah, karena dianggap tak bertahkim dengan apa yang diturunkan Allah.
Waktu berlalu. Hasan bin ‘Ali, cucu kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tampil menjadi tokoh pemersatu umat. Ya, beliau menyatukan umat bukan dengan memproklamirkan diri menjadi pemimpin kaum muslimin satu- satunya yang sah. Beliau menyatukan kaum muslimin, malah dengan ‘mengalah’, mundur dari jabatan Khalifah dan menyerahkannya pada Mu’awiyah. Sosok seperti Hasan inilah pemimpin sejati, negarawan sejati, khalifah sejati.
Setelahnya, Dinasti Umawiyyah memimpin umat Islam hampir seratus tahun lamanya. Lahir pemimpin yang sangat bertakwa, lahir juga pemimpin yang bermewah-mewahan. Namun, sunnatullah berjalan, kekuasaan itu dipergilirkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya. Umawiyyah melemah, kemudian datanglah kelompok pemberontak besar, dengan kekuatan luar biasa, menghancurkan keluarga Bani Umayyah, memporak- porandakan kekuasaan mereka.
Setelahnya, kelompok pemberontak itu memproklamirkan kekuasaan baru, Dinasti ‘Abbasiyyah. Memindah ibukota dari Damaskus ke Baghdad. Namun, mereka tak benar-benar mampu menguasai seluruh wilayah kaum muslimin. Keturunan Umayyah yang tersisa, ‘Abdurrahman bin Mu’awiyah bin Hisyam, menjadi pemimpin wilayah Andalusia. Ia mandiri, tak menjadi bawahan dari ‘Abbasiyyah.
Pada awalnya para penguasa Andalusia tak menyebut dirinya khalifah, sebagai penghormatan pada para khalifah di Baghdad. Tapi, setelah perjalanan waktu, mereka akhirnya menyebut diri mereka sebagai khalifah. Akhirnya, terjadilah dualisme khalifah, khalifah di timur, dan khalifah di barat. Bagusnya, mereka relatif tak saling mengganggu. Akhirnya, Islam di barat dan timur sama- sama bisa berkembang dan memimpin peradaban dunia. Setelah itu, perjalanan kaum muslimin terus mengalami naik dan turun. Kadang terpuruk, Al-Aqsha direbut pasukan salib, Baghdad dihancurkan Tartar, kekuasaan Islam di Andalusia runtuh. Kadang bangkit, Al-Aqsha dibebaskan kembali oleh generasi Shalahuddin, Tartar dipermalukan oleh pasukan Saifuddin Quthuz, dan Konstantinopel, kota paling utama di Eropa, dibebaskan oleh Muhammad Ats-Tsani.
Beginilah perjalanan hidup kaum muslimin. Kadang di atas, memimpin peradaban dunia, kadang di bawah, didominasi oleh peradaban lain. Tapi, harapan itu masih ada. Selama Al-Qur’an dan As-Sunnah masih menjadi panduan dan rujukan kita. Selama masih ada yang cinta ilmu dan para ulama. Selama masih ada yang darahnya mendidih, rindu dengan aktivitas jihad. Peradaban Islam akan kembali memimpin, menebarkan rahmat bagi sekalian alam.
Leave a Reply