Oleh: Muhammad Abduh Negara
Beberapa masail tentang ijma’ ulama yang perlu kita ketahui secara ringkas:
1. Ulama yang diakui ijma’-nya adalah para mujtahid, baik mujtahid mutlak maupun mujtahid muntasib. Sedangkan ulama lain, semisal ushuliyyun, nahwiyyun, dan lain-lain, tidak dianggap dalam ijma’.
2. Faidah ijma’ adalah mengubah hukum dari derajat zhanni menjadi qath’i, dan menghilangkan kemungkinan adanya khilaf tentang hukum tersebut.
3. Ijma’ menjadi hujjah bagi para ulama di masa terjadinya ijma’ tersebut, dan di masa-masa setelahnya.
4. Ulama berbeda pendapat tentang mulai berlakunya ijma’, apakah harus menunggu wafatnya seluruh ulama yang ber-ijma’ atau tidak. Pendapat yang paling shahih (ashah), tidak disyaratkan wafatnya mereka semua.
5. Ijma’ ada dua, ijma’ qauli dan ijma’ fi’li. Ijma’ qauli berarti para ulama sepakat menyatakan satu hukum, sedangkan ijma’ fi’li, para ulama sepakat melakukan suatu perkara yang menunjukkan hal itu boleh dilakukan.
6. Ijma’ kadang dinukil secara mutawatir, kadang dinukil secara ahad, dan keduanya merupakan hujjah.
7. Boleh terwujudnya kesepakatan, setelah sebelumnya terjadi ikhtilaf (perselisihan pendapat), baik kesepakatan tersebut masih di masa yang sama, atau di masa setelahnya.
8. Ada ijma’ yang disepakati kehujjahannya, ada juga yang diperselisihkan. Contoh ijma’ yang diperselisihkan adalah ijma’ sukuti, yaitu sebagian ulama menyampaikan pendapat atau melakukan satu perkara, dan hal tersebut tersebar luas, namun tidak ada ulama lain yang mengingkarinya.
Ulama berselisih tentang kehujjahan ijma’ sukuti ini, namun pendapat yang paling shahih (ashah) menyatakan ia adalah ijma’ dan hujjah.
9. Kadang ulama berselisih pendapat tentang satu perkara, apakah terjadi ijma’ dalam perkara tersebut atau tidak, misalnya pada kasus wajibnya zakat barang perdagangan. Sebagian ulama menyatakan ada ijma’ atas wajibnya hal itu, sebagian lagi menafikan adanya ijma’.
10. Berbagai qarinah (indikasi atau faktor penyerta) yang menyertai, punya pengaruh besar untuk menetapkan qath’i atau zhanni-nya ijma’.
11. Orang yang mengingkari perkara yang terdapat ijma’ di dalamnya, tidak divonis kafir, kecuali ia mengingkari perkara ijma’ yang ma’lum minad diin bidh dharurah.
Wallahu a’lam.
Rujukan: Al-Madkhal Ila Ushul Al-Fiqh, karya Dr. ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah As-Saqqaf, Halaman 119-127, Penerbit Dar Adh-Dhiya, Kuwait.
Leave a Reply