Oleh: Muhammad Abduh Negara
Ada cerita, di sebuah kampus Islam, saat seorang Syaikh sedang mengajar, ada mahasiswa yang bersiwak di kelas. Syaikh menegur mahasiswa tersebut, dan sang mahasiswa menjawab yang ia lakukan itu Sunnah Nabi dan tak boleh dilarang. Syaikh kemudian berkata, mencabut bulu ketiak juga Sunnah Nabi, apa anda mau melakukannya di kelas ini? Aw kama qala.
Cerita di atas menunjukkan, bahwa meski satu aktivitas itu termasuk Sunnah Nabi, tapi semua tetap ada tempatnya, ada waktunya yang tepat. Bersiwak, mencabut bulu ketiak, apalagi mencukur bulu kemaluan, termasuk Sunnah, tapi apa iya, ia layak dilakukan saat sedang di majelis ilmu, saat guru kita menjelaskan ilmu. Bukannya fokus mendengarkan ilmu, malah melakukan hal lain, yang mengganggu sang guru, bahkan bisa jadi mengganggu santri yang lain.
Demikian juga dalam hal-hal lain yang lebih besar. Saat seseorang mengampanyekan satu hal yang ia anggap urgen dalam Syariat, namun ditanggapi oleh yang lain, bahwa hal itu perlu pertimbangan matang, harus memperhatikan aspek maslahat dan mafsadat, ada cara lain selain cara yang ia anggap satu-satunya cara itu, dan lain sebagainya. Jangan buru-buru menyatakan orang ini anti Syariat Islam atau musuh Islam.
Sangat mungkin, yang ia kritisi adalah sikap “kacamata kuda” dan “ketergesa-gesaan” anda, bukan Syariat Islamnya. Syariat Islam wajib didukung dan diwujudkan dalam keseharian kita, dalam semua aspeknya. Hanya saja, itu belum tentu harus sesuai dengan cara anda atau kelompok anda. Bisa jadi, cara yang anda pilih itu tidak tepat. Seperti orang yang mencabut bulu ketiak karena meyakininya Sunnah Nabi, di tengah-tengah kelas, saat semua orang fokus belajar. Bukan Sunnah Nabi-nya yang dicela, tapi sikap “tak tahu tempat” anda yang dikritik.
Wallahu a’lam.
Leave a Reply