Oleh: Muhammad Abduh Negara
Ucapan “jangan saling menyalahkan”, ini tidak tepat, karena yang terbiasa membaca karya-karya para ulama, tentu akan banyak menemukan perdebatan dan saling menyalahkan di sana. Bahkan sebagian dengan ungkapan yang cenderung keras dan nyelekit.
Ucapan “tidak boleh menyesatkan dan meng-ahlul bid’ahkan pihak lain” ini juga tidak tepat, karena sejak era salaf, label ahli bid’ah itu sudah ada dan diberikan para ulama. Pernah dengar ucapan Imam Ibnu Sirin kan, “wa yunzharu ilaa ahlil bida’ fa laa yu’khadzu haditsuhum”?
Lalu bagaimana?
Yang benar, pahami kadar diri, rahimallahu (i)mra-an ‘arafa qadra nafsihi. Bagian kritik mengkritik pendapat, apalagi melemahkan dan menyalahkan pendapat seorang alim mujtahid, itu wilayah para ulama, bukan wilayah thalabatul ‘ilm, apalagi orang awam seperti anda.
Apalagi vonis bid’ah dan sesat, ini lebih besar lagi tanggung jawabnya, sehingga hanya layak diucapkan oleh orang yang dalam dan luas ilmunya, memiliki ketaqwaan dan sifat wara’, serta mempertimbangkan maslahat dan mafsadat dari vonis tersebut. Bukan tugas kita yang mentashrif kaffara yukaffiru kufran saja keliru.
Tulisan ini berisi kritik?
Ya, kritik kepada dua pihak sekaligus. Pertama, pada orang atau kelompok yang suka menyalahkan pendapat ulama tanpa landasan ilmu, dan suka memvonis tanpa bukti yang kuat, bahkan cenderung serampangan.
Kedua, pada kalangan yang ingin terlihat bijak, tapi tanpa ilmu, sehingga hanya terlihat sok bijak saja. Mengucapkan kata-kata yang membuai orang awam, tapi kalau ditimbang dengan ilmu, jelas keliru.
Leave a Reply