Oleh: Muhammad Abduh Negara
Ada yang membaca tulisan saya tentang mana yang diutamakan, antara fatwa ulama klasik yang dilandasi oleh istiqra dengan ilmu kedokteran modern, dan pada tulisan tersebut saya katakan, yang diutamakan adalah kedokteran modern.
Ia membantah tulisan tersebut dengan menyatakan bahwa yang saya tulis itu namanya mendahulukan logika daripada dalil, kemudian ia menampilkan poster yang isinya ucapan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, bahwa beragama itu tidak dengan logika.
Model pemikiran seperti ini sering saya temukan. Mereka memahami ungkapan لو كان الدين بالرأي secara serampangan, seakan agama ini menolak sama sekali peran akal. Seakan jika ada yang menggunakan akal dan nalar dalam memahami agama, maka telah rusak agamanya. Padahal, pemahaman seperti itulah yang rusak, paham yang seakan akal dan naql itu saling bertentangan.
Ibnu Taimiyyah dalam “Dar’u Ta’arudh Al-‘Aql Wa An-Naql” dan lainnya, menolak adanya ta’arudh (pertentangan) antara akal yang benar dan naql (dalil nash) yang shahih. Dan jika terlihat ada pertentangan, maka ada dua kemungkinan, entah naql-nya yang tidak shahih, atau sebaliknya muqaddimah akal, atau premis logikanya, yang salah dan batil.
Wahbah Az-Zuhaili dalam “Al-Wajiz Fi Ushul Al-Fiqh” menyatakan, “Naqli dan ‘aqli masing-masing saling memerlukan yang lain. Ijtihad tidak diterima tanpa bersandar pada dalil naqli, karena sekadar akal saja tidak boleh menetapkan dan membuat hukum. Begitu juga, berdalil dengan dalil-dalil naqli memerlukan penelitian dan penelaahan yang mendalam.”
Akal berperan, baik dalam soal aqidah maupun fiqih. Bukankah Allah ta’ala dalam banyak tempat di Al-Qur’an mengajak kita untuk berpikir, agar sampai pada ma’rifatullah dan keimanan yang meyakinkan akan keberadaan Sang Pencipta? Demikian juga, akal berperan dalam membuktikan kebenaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasul. Di awal dakwah, Nabi bertanya kepada orang-orang Quraisy, seandainya beliau mengabarkan bahwa di balik bukit ada musuh yang sedang mengintai mereka, apakah mereka percaya, dan serentak mereka mengatakan, percaya. Hal ini karena Nabi memang dikenal sebagai orang yang paling jujur dan terpercaya, dalam semua urusan, tak bisa diterima oleh akal sehat, tiba-tiba beliau berdusta dalam persoalan besar. Dan lanjutannya, kita ketahui bersama.
Dalam fiqih, peran akal lebih luas lagi. Qiyas yang menurut Asy-Syafi’i adalah inti ijtihad, itu memerlukan peran akal untuk mengetahui kesamaan ‘illah (sifat yang menjadi dasar berlakunya hukum) antara ashlun (perkara yang disebutkan dalam dalil) dengan far’un (perkara baru yang tidak disebutkan dalam dalil). Akal juga berperan dalam menetapkan mashlahah mursalah dan lainnya. Bahkan saat ada dalil nash sekalipun, akal juga berperan untuk mengetahui mafhum dari manthuq, melihat makna yang ditunjukkan lafazh apakah haqiqi atau majazi, dan lain-lain. Sederhananya, tak akan bisa menjadi faqih mujtahid orang yang tak mampu menggunakan akal pikirnya secara optimal.
Namun, akal memiliki batasan. Karena itu:
1. Akal tidak bisa menjangkau hal-hal gaib, semisal surga dan neraka, malaikat dan jin, peristiwa yang terjadi di masa depan dan kepastian di masa lalu, dan semisalnya. Pada bab ini, kita hanya mengikuti wahyu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Apa yang ia kabarkan, kita terima, dan tidak ada peran akal untuk menolak hal-hal yang secara pasti disebutkan oleh wahyu.
2. Pada perkara yang terdapat nash yang sharih (tidak membuka ruang untuk dipahami secara berbeda) dan shahih (terbukti memang dari Allah ta’ala dan Rasul-Nya), maka akal harus tunduk sepenuhnya.
Nah, ungkapan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, “Seandainya agama ini hanya dengan ra’yu (akal) semata, maka bagian bawah khuff (sepatu) lebih layak diusap daripada bagian atasnya.”, itu berkaitan dengan poin ke-2 di atas. Nash yang sharih dan shahih, bahkan mutawatir, telah menunjukkan bahwa Nabi mengusap khuff bagian atas saat berwudhu, menggantikan membasuh kaki, dan hal ini ditunjukkan oleh beliau dengan sangat jelas, dan diriwayatkan oleh 70 orang shahabat Nabi melalui jalur Al-Hasan Al-Bashri saja. Maka tak ada ruang bagi akal untuk menolaknya atau menyelisihinya.
Adapun dalam kasus perbandingan antara pendapat ulama klasik dan hasil penelitian kedokteran modern, tentang beberapa persoalan yang saya pernah saya tulis, itu tidak bisa dibawa ke ranah, “agama tidak boleh dengan logika”. Orang yang membawa ke ranah tersebut, bisa dipastikan tak memahami fiqih dengan baik.
Dengan jelas saya sampaikan, pendapat ulama tersebut didapatkan melalui metode istiqra, metode induktif dengan mencermati berbagai fakta yang mereka temukan kemudian dibuat kesimpulan atas hasil temuan tersebut. Pendapat mereka dalam bab-bab tersebut tidak dilandasi oleh nash, nash zhanni dalalah (yang mengandung beberapa kemungkinan makna) saja tidak, apalagi nash qath’i dalalah (yang menunjukkan satu makna secara pasti).
Metode istiqra tersebut bisa diterima dan diamalkan, sejauh tidak ada hasil penelitian yang lebih kuat dan pasti yang membatalkannya. Nah saat penelitian kedokteran sudah mencapai tingkat yang sangat tinggi di masa sekarang, maka hasil penelitian mereka lebih diutamakan dari hasil metode istiqra para ahli fiqih klasik.
***
Bahaya dari kesalahan memahami konsep “beragama itu dengan dalil, tidak boleh dengan akal”, bisa membuat orang menjadi kaku dan tidak toleran terhadap pendapat fiqih yang berbeda. Lebih lagi, jika ia merasa telah berada di komunitas yang ia anggap pembawa panji kebenaran, maka semua pendapat yang menyelisihi pendapat komunitasnya, akan dianggapnya menyelisihi dalil.
Saat misalnya ia memahami makna لامستم النساء itu jima’, atau bersentuhan kulit dengan dorongan syahwat, maka sangat mungkin ia akan menganggap pendapat yang menyatakan batal wudhu karena bersentuhan kulit dengan non-mahram meskipun tidak disertai syahwat itu, menyelisihi dalil dan hanya dilandasi oleh logika atau akal saja.
Atau saat memahami bahwa mengusap kepala dalam wudhu itu harus seluruh kepala, berdasarkan sekian Hadits, maka ia mungkin menganggap kebolehan mengusap hanya sebagian kecil kepala, berdasarkan analisis terhadap huruf ba’ pada ayat وامسحوا برؤوسكم dan terhadap Hadits مسح بناصيته وعلى العمامة, itu menyelisihi dalil shahih.
Saat ia memahami bahwa qunut shubuh itu tidak disyariatkan karena sekian Hadits yang menafikan hal tersebut, ia akan menganggap orang yang mengamalkan qunut shubuh itu sebagai pelaku bid’ah dan pengikut hawa nafsu, padahal Hadits yang menunjukkan disunnahkannya qunut shubuh juga ada dan dishahihkan oleh sebagian ulama.
Bahkan bisa jadi pendapat syadz (nyeleneh), tentang bolehnya makan dan minum saat adzan shubuh Ramadhan, padahal terbukti fajar shadiq telah terbit, berdasarkan satu Hadits yang disampaikan ustadz komunitasnya dan dishahihkan oleh syaikh panutan di komunitasnya, menjadikan ia menolak pendapat mayoritas ulama (atau tepat juga dikatakan: kesepakatan seluruh ulama), dan mengatakan pendapat itu menyelisihi dalil, tanpa mau peduli terhadap analisis para ulama tentang kedhaifan atau makna yang benar dari Hadits tersebut.
Dan banyak contoh lainnya, yang menunjukkan bahayanya salah memahami konsep لو كان الدين بالرأي, apalagi jika ditambah sikap fanatisme buta (ta’ashshub) terhadap komunitasnya.
Leave a Reply