Oleh: Muhammad Abduh Negara
Pertanyaan semisal, “Bisa baca kitab Arab?”, “Sudah pernah belajar Nahwu?”, “Pernah belajar Fiqih dan Ushul Fiqih di mana?” dan lain-lain, itu tepat jika diajukan pada orang yang petantang-petenteng, sok tahu, mudah menyalahkan pendapat ulama, dan menganggap semua pendapat yang berbeda dengannya (atau kelompoknya) otomatis sesat. Tepat, karena orang yang tak tahu kadar diri, terlalu meninggikan dirinya lebih dari kapasitasnya, perlu “ditempeleng” agar ia kembali sadar siapa dirinya.
Tapi pertanyaan semisal tak layak ditanyakan kepada da’i yang kerja dakwahnya mengajak orang untuk rajin shalat berjamaah, untuk taubat dari kemaksiatan, untuk meninggalkan kemungkaran yang disepakati ulama, dan semisalnya. Tidak tepat dan tidak layak, karena materi dakwah seperti di atas, memang tak mensyaratkan menguasai ilmu-ilmu fardhu kifayah semisal Nahwu, Ushul Fiqih dan lainnya.
Bahkan, pertanyaan-pertanyaan tersebut, malah mengesankan penanya ingin membesar-besarkan dirinya, ingin dianggap lebih hebat dari yang lain, yang ini jelas tercela. Jika ia memang menguasai ilmu-ilmu tersebut dengan baik, ia tetap tercela karena merendahkan orang lain. Apalagi jika ia hanya omdo saja, sok-sokan menanyai orang lain, ia sendiri juga tak paham dengan baik.
Leave a Reply