Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Ushul Fiqih

Bolehkah Akal Mengecualikan Sebagian Kandungan Nash yang Bersifat Umum?

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Imam Az-Zarkasyi dalam Al-Bahr Al-Muhith menyatakan:

“Boleh melakukan takhshish dengan dalil akal, baik secara dharuri maupun nazhari. Yang pertama, seperti takhshish firman Allah ta’ala: اَللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ (Allah adalah pencipta segala sesuatu) (Surah Az-Zumar Ayat 62). Kita tahu secara dharuri, bahwa Allah ta’ala tidak menciptakan Diri-Nya sendiri.

Yang kedua, seperti takhshish firman Allah ta’ala: وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ (Dan Allah mewajibkan bagi orang-orang…) (Surah Ali ‘Imran Ayat 97). Kita mengeluarkan anak kecil dan orang gila, dari kewajiban pada ayat tersebut, karena keduanya tidak mampu memahami seruan (khithab) dari Allah ta’ala.

Syaikh Abu Hamid Al-Isfarayini berkata: Tidak ada khilaf di kalangan ahli ilmu tentang hal tersebut.”

Az-Zarkasyi kemudian mengutip pernyataan Al-Qadhi Abu Bakr Al-Baqillani, bahwa takhshish oleh dalil akal itu maksudnya adalah, jika ada redaksi umum dalam nash, dan akal menunjukkan bahwa hal tersebut tidak mungkin dipahami sesuai keumumannya, maka bisa dipahami bahwa yang dimaksud oleh redaksi umum tersebut khusus pada sesuatu yang tidak dianggap mustahil oleh akal.

Takhshish oleh akal di sini, bukan berarti akal bisa secara mandiri mengecualikan sebagian kandungan nash yang bersifat umum, seperti halnya istitsna (pengecualian) dalam kalam yang bersambung dengan lafazh umumnya, seperti dalam bahasan takhshish muttashil. Demikian pernyataan Al-Baqillani.

Dari penjelasan di atas, bisa dipahami bahwa fungsi dalil akal tidaklah sepenuhnya sama seperti nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang bisa melakukan takhshish (memberikan pengecualian atau mengeluarkan sebagian kandungan nash yang bersifat umum) terhadap nash lainnya, baik secara muttashil (bersambung dalam satu kalimat) maupun secara munfashil (terpisah).

Takhshish oleh dalil akal ini, maksud sebenarnya adalah membatasi keumuman suatu lafazh pada hal-hal yang tidak mustahil secara akal. Contohnya pada firman Allah ta’ala: اَللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ, jika lafazh شيء ini digunakan sesuai keumumannya, maka Allah tabaraka wa ta’ala masuk ke dalam keumuman lafazh tersebut. Tapi akal secara pasti menafikan hal tersebut. Allah ta’ala tidak mungkin menciptakan Diri-Nya sendiri, karena itu berarti menjadikan Allah ta’ala sebagai makhluk (yang diciptakan), dan itu mustahil bagi-Nya subhanahu wa ta’ala.

Imam Ibnu Burhan dalam Al-Wushul Ila Al-Ushul menyatakan, bahwa sekelompok ahli kalam berpendapat, tidak boleh mentakhshish dalil yang bersifat umum dengan dalil akal. Namun beliau kemudian menimpali, khilaf dalam hal ini hanya khilaf lafzhi saja (khilaf dalam penggunaan istilah saja, dan tidak berdampak apa-apa pada hukum).

Beliau menyatakan, ulama tidak berselisih pendapat, bahwa firman Allah ta’ala: خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ, itu tidak bermaksud bahwa Allah ta’ala dan sifat-sifat-Nya, termasuk makhluk yang diciptakan. Karena akal menunjukkan Sang Pencipta (Al-Khaliq) tidak mungkin sekaligus menjadi makhluk (yang diciptakan).

Khilaf yang terjadi hanya tentang, kasus di atas apakah disebut dengan takhshish, atau tidak bisa disebut takhshish.

Wallahu a’lam.

Rujukan:
1. Al-Bahr Al-Muhith Fi Ushul Al-Fiqh, karya Imam Badruddin Az-Zarkasyi, Juz 3, Halaman 355-356, Penerbit Dar Ash-Shafwah, Al-Ghurdaqah, Mesir.
2. Al-Wushul Ila Al-Ushul, karya Imam Ibnu Burhan Al-Baghdadi, Juz 1, Halaman 257-258, Penerbit Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh, Saudi Arabia.

Leave a Reply