Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Bunga Bank Menurut Al-Qardhawi

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi dalam “Al-Fatwa Bayna Al-Indhibath Wa At-Tasayyub”, sebagaimana jumhur fuqaha kontemporer, menganggap transaksi dalam perbankan konvensional sebagai transaksi riba, dan menganggap pihak-pihak yang memfatwakan bolehnya bunga dari bank konvensional melandasi fatwanya dari, entah ketidakpahaman terhadap fakta, atau ketidakmampuan ‘melawan’ penyimpangan yang terjadi sehingga malah melakukan pembenaran terhadapnya.

Beliau juga tidak menganggap perbedaan pendapat tentang kehalalan bunga bank ini sebagai perbedaan pendapat yang mu’tabar, karena beliau menganggap hal itu merupakan ijtihad yang bertentangan dengan dalil yang qath’i tentang haramnya riba. Beliau sepertinya tidak mengakui adanya kemungkinan beda pendapat (yang bisa diterima) tentang fakta bunga bank tersebut, antara ia memang riba atau transaksi baru yang hukum asalnya mubah. Beliau tak menganggap itu pemahaman terhadap fakta, namun lebih pada mencari pembenaran atas fakta yang rusak.

Pendapat beliau ini adalah pendapat seorang alim, dan juga pendapat jumhur fuqaha kontemporer. Meski saya condong pada pendapat beliau dalam bab ini, namun saya cukup tahu diri untuk tidak ‘berpanjang lidah’ terhadap sebagian fuqaha kontemporer yang memfatwakan bolehnya bunga bank.

Namun tidak seperti pendapat yang diikuti sebagian komunitas anti bank, Al-Qaradhawi termasuk memberi keringanan dalam berinteraksi dengan bank dan/atau bekerja di bank konvensional pada fatwa-fatwanya, terutama jika ada hajat terhadapnya dan belum ada solusi yang lebih sesuai Syariat.

Misal, beliau tidak memfatwakan setiap karyawan bank konvensional untuk segera mundur dari pekerjaannya, pada detik dia mengetahui keharaman bunga bank. Keadaan setiap orang berbeda. Bisa jadi, jika seseorang dipaksa segera mundur, dia tidak punya pekerjaan atau sumber nafkah lain, yang itu menyebabkan dharar dan mafsadah bagi dirinya dan orang-orang yang di bawah tanggungan nafkahnya. Maka beliau memfatwakan si karyawan boleh bertahan sementara di pekerjaannya, sampai pekerjaan lain atau sumber penghasilan lain yang mencukupi, telah didapatkan.

Ini bukan ajakan untuk melanggar ketentuan Syariat, tapi ini adalah manifestasi dari menghilangkan bahaya dengan tidak mendatangkan bahaya yang lain, serta memberi fatwa sesuai keadaan mustafti.

Leave a Reply