Oleh: Muhammad Abduh Negara
Beredar pengakuan seorang tokoh, bahwa ia tidak pantas menjadi imam shalat. Ini dari satu sisi, jelas adalah kebaikan, karena sikap “tahu diri” sulit ditemukan saat ini. Hanya saja, kita perlu memahami, bahwa ketidakpantasan itu perlu dilihat, apakah dari sisi afdhaliyyah (keutamaan) atau syarat sah imam. Kalau dari sisi afdhaliyyah, misal merasa kurang luas pengetahuannya terhadap As-Sunnah, atau kurang mendalami fiqih shalat, atau kurang penguasaannya terhadap Al-Qur’an, dan semisalnya, maka ini bagus.
Namun, jika terkait syarat sah sebagai imam, misal karena ia tak bisa membaca Al-Fatihah dengan benar, sampai menghilangkan huruf atau tasydid yang harusnya dibaca, atau mengubah huruf sehingga berkonsekuensi mengubah makna, dan semisalnya, maka ini adalah musibah. Musibah pertama, karena seorang muslim harusnya bisa melewati tahap ini. Musibah kedua, jika hal ini terjadi pada pemimpin atau yang mencalonkan diri sebagai pemimpin.
Jika menjadi imam shalat bagi sesama muslim saja ia tidak sah, lalu mengapa ia berani mencalonkan diri menjadi imam dalam konteks yang lebih luas?
Jika ternyata kita harus diberi pilihan dua calon pemimpin yang sama-sama tak memiliki kelayakan menjadi imam shalat (dari sisi sah tidaknya, bukan dari sisi afdhaliyyah), maka mengapa kita begitu bersemangat menjadikannya imam bagi kita dalam seluruh urusan kita?
Penduduk Indonesia lebih dari 200 juta orang. Mayoritasnya muslim. Sebagiannya sarjana Syariah. Banyak yang hafal Al- Qur’an. Banyak yang paham fiqih. Banyak yang bahkan bisa melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan indah dan sesuai tajwid. Banyak yang lebih paham Islam. Mereka semua ini lebih pantas menjadi pemimpin, dibandingkan orang yang tidak layak menjadi imam shalat.
Semoga Allah ta’ala mengaruniakan kita pemimpin yang bisa menjadi imam kita, dalam shalat dan dalam seluruh urusan kepemimpinan.
Catatan:
1. Tulisan ini tidak berisi tuduhan kepada siapa-siapa. Saya belum pernah secara langsung dan secara khusus mendengarkan bacaan Al-Fatihah dua calon imam ini, sehingga tak bisa memberikan penilaian. Saya menggunakan kata “jika”. Jika seperti itu keadaannya, maka beginilah penilaian saya. Jika tak seperti itu, maka berarti ia tak termasuk yang saya sebutkan di status ini.
2. Tulisan ini sekadar mengajak kita untuk berpikir. Daripada nyinyir-nyinyiran antar kubu politik tentang imam shalat, mending introspeksi bersama.
3. Pembahasan syarat sah imam di atas, merujuk pada kitab- kitab fiqih, semisal Al-Fiqh Al-Manhaji, At-Taqrirat As-Sadidah, Naylur Raja, dan lain-lain.
Leave a Reply