Oleh: Muhammad Abduh Negara
Merintis bangunan peradaban Islam yang mulia, berarti termasuk mereparasi cara berpikir umat agar sesuai dengan kerangka berpikir Islami.
Menurut Islam, belajar/sekolah adalah proses menuntut ilmu, yang jika ilmu tersebut didapatkan, ia akan lanjutkan dengan amal. Struktur ilmu dalam Islam pun ada yang ilmu syar’i dan ghairu syar’i, ada yang fardhu ‘ain, fardhu kifayah, dan ada yang sunnah.
Sebagian ilmu memang ada yang kemudian bisa dijadikan mata pencaharian. Misal ilmu kedokteran yang hukumnya fardhu kifayah. Namun, cara berpikir kita harus tetap benar dan lurus. Belajar ilmu kedokteran adalah bagian dari penunaian fardhu kifayah, dan setelah ilmu tersebut diraih, maka ilmu tersebut harus diamalkan. Jika dari amal tersebut teraih materi, itu adalah tambahan karunia dari Allah ta’ala.
Yang keliru, pendidikan dikejar setinggi-tingginya untuk meraih pekerjaan/mata pencaharian. Bahkan kadang-kadang demi meraih gelar, cara-cara curang dilakukan. Ilmu tak lagi penting, menuntut ilmu tak lagi bernilai ibadah. Inilah yang terjadi saat ini. Akhirnya, ilmu yang sebnarnya fardhu ‘ain atau fardhu kifayah yang sangat dibutuhkan umat, diabaikan, karena dianggap tak menjanjikan kekayaan dunia.
Jika pun belajar, mereka belajar setengah hati, hanya demi eksistensi, atau mengikuti tren di musim ini. Tetap saja, ilmu yang tak menjanjikan penghasilan melimpah atau pekerjaan mapan, dianaktirikan, dianggap tak penting, hanya sambilan, jika sempat saja.
Leave a Reply