Oleh: Muhammad Abduh Negara
Salah satu tema yang dibahas dalam ushul fiqih adalah ta’arudh antar dalil. Maksud ta’arudh antar dalil adalah, ada dua dalil yang membahas perkara yang sama, namun menunjukkan hukum yang berbeda, misal dalil pertama menyatakan perkara tersebut hukumnya boleh, sedangkan dalil kedua menyatakan perkara tersebut hukumnya haram.
Langkah yang harus dilakukan oleh seorang peneliti, saat bertemu dua nash yang tampak bertentangan, tahap demi tahap, menurut jumhur ulama, sebagaimana disampaikan oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili (Ushul Al-Fiqh Al-Islami, Juz 2, Hlm. 459-461, Dar Al-Fikr, Suriah) adalah:
1. Mengupayakan mengamalkan dua nash tersebut bersamaan dengan melihat sisi-sisi yang mungkin dikompromikan sehingga tidak perlu ada nash yang ditinggalkan.
2. Jika upaya kompromi tidak bisa dilakukan, yang harus dilakukan berikutnya adalah tarjih, dengan mengunggulkan salah satu dalil dibandingkan dalil lainnya dan mengamalkan dalil yang diunggulkan tersebut, dan meninggalkan dalil yang kurang diunggulkan, dengan langkah-langkah tarjih tertentu.
3. Jika dua langkah sebelumnya tidak bisa, lanjut ke nasakh, yang berarti peneliti harus melakukan pencarian, mana nash yang datang lebih dulu dan mana yang datang kemudian. Setelah diketahui, nash yang datang kemudian yang diamalkan, sedangkan nash yang datang lebih awal dianggap hukumnya telah dihapus dan tidak berlaku lagi (mansukh).
4. Jika semua langkah di atas tidak bisa, langkah terakhir adalah meninggalkan dua nash tersebut sekaligus, dan memilih beramal dengan petunjuk yang diberikan oleh dalil lain, seakan-akan perkara tersebut tidak disebutkan dalam nash.
Adapun menurut Hanafiyyah, sebagaimana disebutkan Az-Zuhaili, urutannya adalah nasakh, lalu tarjih, baru kemudian jama’ (kompromi), dan terakhir meninggalkan dua nash sekaligus. (Hlm. 454-458).
Dr. Qahthan ‘Abdurrahman Ad-Duri dalam “Manahij Al-Fuqaha Fi Istinbath Al-Ahkam Wa Asbab Ikhtilafihim” (Hlm. 126-127, Books Publisher, Libanon) menyebutkan contoh dua nash yang seakan bertentangan (ta’arudh), namun ternyata bisa dikompromikan, yaitu izin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagi laki-laki yang sedang puasa untuk mencium istrinya, pada satu kesempatan. Sedangkan pada kesempatan lain dan pada penanya berbeda, Nabi melarangnya.
Secara zhahir, dua nash ini tampak bertentangan, namun jika dicermati betul-betul ternyata keduanya tidak bertentangan. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam hadits riwayat Abu Dawud, menyatakan bahwa yang diizinkan oleh Nabi adalah orang yang sudah tua, sedangkan yang dilarang adalah seorang pemuda.
Dan perbedaan jawaban Nabi ini wajar, karena orang yang sudah tua, setelah mencium istrinya, kemungkinan besar tidak akan berlanjut ke hal-hal lain. Sedangkan pemuda yang mencium istrinya, besar kemungkinan akan berlanjut melakukan hal-hal lain, karena itu Nabi melarangnya.
Catatan:
1. Syaikh ‘Abdul Wahhab Khallaf (‘Ilm Ushul Al-Fiqh, Hlm. 241, Dar Ibn Al-Jauzi, Mesir) menyatakan ta’arudh antar dua nash ini bukan ta’arudh haqiqi, dalam arti satu wahyu Allah ta’ala bertentangan dengan wahyu satunya lagi, ini tidak mungkin. Yang sebenarnya terjadi adalah ta’arudh zhahiri, yaitu ta’arudh (pertentangan) yang tampak di mata seorang peneliti saat melihat dua nash tersebut. Jadi ta’arudh ini sepenuhnya karena keterbatasan akal kita dalam memahami.
2. Selain ta’arudh antar dua nash, ta’arudh juga bisa terjadi antar dua qiyas, sebagaimana disampaikan Az-Zuhaili (Hlm. 458-459).
3. Perbedaan pendapat ulama dalam menetapkan hukum, salah satunya disebabkan oleh perbedaan mereka dalam menyikapi dua nash yang terlihat bertentangan. Contoh kasusnya sebagaimana disebutkan oleh Ad-Duri (Hlm. 127-128) adalah tentang masa ‘iddah perempuan hamil yang suaminya meninggal dunia. Dalam hal ini ada dua ayat Al-Qur’an yang zhahirnya bertentangan, yaitu surah Al-Baqarah ayat 234 yang menyatakan masa ‘iddah perempuan yang suaminya meninggal dunia adalah 4 bulan 10 hari, dan surah Ath-Thalaq ayat 4 yang menyatakan ‘iddah perempuan hamil itu sampai dia bersalin (wadh’u al-haml), dan meniscayakan perempuan hamil yang bersalin beberapa jam setelah suaminya meninggal telah selesai masa ‘iddahnya.
Menyikapi hal ini, ada dua pendapat yang mengemuka:
Pertama, pendapat yang menyatakan masa ‘iddahnya adalah waktu terpanjang dari dua kemungkinan, jika bersalinnya si perempuan lebih lama dari 4 bulan 10 hari, maka masa ‘iddahnya saat dia bersalin, dan jika dia bersalin sebelum 4 bulan 10 hari, maka masa ‘iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas, ‘Ali dan Asy-Sya’bi, serta Sahnun dari kalangan Malikiyyah.
Pendapat pertama ini dihasilkan dengan melakukan kompromi (jama’) antar dua dalil, dan mengamalkan keduanya pada sisi-sisi yang memungkinkan.
Kedua, pendapat yang menyatakan perempuan hamil yang suaminya meninggal dunia masa ‘iddahnya adalah saat dia bersalin, bahkan meskipun dia bersalin hanya beberapa jam setelah suaminya meninggal dunia. Ini adalah pendapat ‘Umar, Ibnu Mas’ud dan Abu Hurairah, serta pendapat mayoritas ulama dari empat madzhab.
Argumentasi mereka adalah, dua nash yang ada itu ta’arudh, dan karena ayat tentang ‘iddah perempuan hamil itu datang kemudian, maka dia menasakh ayat satunya, atau bisa juga ayat ‘iddah perempuan hamil itu mentakhshish keumuman ayat satunya, sehingga ayat yang menyatakan ‘iddah bagi perempuan yang suaminya meninggal dunia itu 4 bulan 10 hari, hanya berlaku jika si perempuan tidak dalam keadaan hamil.
Selain itu, mereka juga berdalil dengan Hadits shahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim, tentang Subai’ah Al-Aslamiyyah yang melahirkan beberapa malam setelah suaminya meninggal dunia, kemudian dia menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan minta izin untuk menikah lagi dan Nabi mengizinkannya.
Wallahu a’lam.
Banjarmasin, 27 Jumada Ats-Tsaniyyah 1443 H / 30 Januari 2022 M
Leave a Reply