Oleh: Muhammad Abduh Negara
Cinta tanah air, selain merupakan sifat manusiawi (thabi’i), juga merupakan manifestasi keimanan dan bentuk perwujudan penjagaan maqashid Syari’ah. Dengan menjaga tanah air kita dari rongrongan musuh-musuh Islam, terjagalah agama kita. Secara luas, meski sebagian akhirnya mengorbankan nyawa dalam jihad fi sabilillah, namun kebanyakan penduduk akan terjaga jiwa dan hartanya dari penjajahan.
Karena itu, para ulama menyatakan berjihad membela tanah air yang merupakan tanah milik kaum muslimin, bagi penduduk yang berada di dalamnya, hukumnya fardhu ‘ain. Karena hanya dengan itulah terjaga kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. Agama harus dijaga (hifzhud diin), meski resikonya kehilangan nyawa. Karena hifzhud diin lebih tinggi dari hifzhun nafs.
Jika kita memahami kerangka “cinta tanah air” dengan pemahaman seperti ini, kita tentu tak akan membenci dan memusuhi upaya memperbaiki umat Islam, melakukan ishlah, termasuk memperjuangkan penerapan Syariah Islam di bumi ini. Upaya itu, merupakan bentuk upaya kita menjaga agama, agar agama Islam di Indonesia lebih lestari, tidak hilang oleh musuh-musuh Islam atau oleh kebodohan pemeluknya.
Yang perlu kita jaga hanya, upaya memperjuangkan Islam itu tak boleh serampangan, asal-asalan, tak memperhatikan aspek mashlahat dan mafsadat, sehingga malah membuat langkah mundur bagi dakwah Islam di negeri ini.
“Cinta tanah air” harus kita letakkan pada konteks ini. Bukan pada ‘ashabiyyah qaumiyyah (fanatisme bangsa), seperti yang terjadi di luar umat Islam. Kecintaan terhadap tanah air yang tepat, juga tidak akan membuat gelap mata, memusuhi semua hal yang dianggap baru, tanpa mempertimbangkan, apakah yang baru itu lebih sesuai dengan Islam dan lebih maslahat bagi umat Islam, atau tidak.
Wallahu a’lam bish shawab.
Leave a Reply