Oleh: Muhammad Abduh Negara
Di antara banyak sekali perdebatan soal hukum musik di facebook ini, saya menemukan ada lontaran argumentasi yang sama-sama terlalu lemah untuk menguatkan atau mendukung pendapatnya, baik yang mengharamkan musik maupun yang membolehkannya.
1. Yang mengharamkan alat musik, ada yang menyokong pendapat haramnya musik dengan argumentasi, tidak ada yang mau didoakan meninggal saat bermain musik atau menyaksikan konser musik. Ini menurutnya, menunjukkan semua orang sadar bahwa musik itu bukan hal baik.
Argumentasi ini terlalu lemah, karena mudah dijawab balik, misalnya apakah anda mau didoakan meninggal saat main futsal, atau saat makan jengkol, atau saat buang hajat? Toh, itu semua kan tidak haram. Tentu kebanyakan orang akan menjawab, tidak mau. Karena meskipun main futsal, dll. itu tidak haram, tapi itu bukan keadaan terbaik yang diharapkan orang-orang saat meninggal dunia.
Nah, keengganan orang didoakan meninggal saat main musik dan semisalnya, meski dia menganggap musik itu halal, adalah dalam konteks ini. Bagi mereka main musik itu memang halal, tapi tentu itu bukan keadaan terbaik yang mereka harapkan saat meninggal dunia.
Catatan: Untuk “menyaksikan konser musik”, ini sudah melewati bahasan “hukum musik”, karena dalam konser musik umumnya, ada masalah soal ikhtilath, buka aurat, tabarruj, lupa waktu, dan lain sebagainya. Jadi, yang menganggap halal musik, tidak otomatis menganggap boleh menyaksikan langsung konser musik.
2. Yang menghalalkan musik, ada yang menyerang pihak yang mengharamkan alat musik dari sisi konsistensi amal. Misal, dicari-cari postingan videonya, kalau ternyata ditemukan ada musik, maka dia akan kena hujatan. Atau yang lebih ‘niat’ lagi, dicari-cari video dari akun dakwah yang mengharamkan alat musik, lalu ditemukan ada musik yang ‘lolos’ dalam video tersebut. Padahal ‘lolos’-nya musik tersebut kemungkinan tidak sengaja, atau editornya awam dalam musik, sehingga sulit membedakan apakah itu instrumen musik atau bukan.
Cara menyerang dan stalking semacam ini, dengan tujuan melemahkan pendapat keharaman musik, karena pelakunya dianggap inkonsisten, adalah sikap yang tidak dewasa dalam berbeda pendapat dan berdebat. Dan sama sekali tidak punya nilai dalam argumentasi.
Satu, orang yang mengharamkan musik, tapi dia masih menikmati musik, artinya orang itu sedang melakukan maksiat. Dan maksiat itu aib, yang harusnya ditutupi, bukan malah dibuka.
Dua, kita bisa analogikan dengan khamr. Catatan, di sini saya tidak sedang menyamakan khamr dengan musik. Kalau ada yang menganggap saya demikian, berarti dia jahil. Saya cuma mau membuat analogi, supaya anda lebih memahami hal ini.
Analoginya, orang yang mengakui keharaman khamr namun dia tetap minum khamr, berarti dia pelaku maksiat. Namun, apakah orang seperti ini, kita samakan dengan orang yang menganggap khamr itu halal? Tentu tidak kan? Yang minum khamr namun tetap menerima keharamannya, ‘hanya’ pelaku dosa besar, sedangkan yang menghalalkan khamr itu kafir, karena dia mengingkari perkara ma’lum minad diin bidh dharurah.
Terus, karena ada oknum yang mengakui keharaman khamr namun tetap minum khamr, apakah itu menjadikan pendapat haramnya khamr jadi lemah atau tidak sah? Tentu tidak. Nah, silakan analogikan hukum musik dengan ini.
Kesimpulannya, jika anda melakukan analogi dengan benar, tidak ada hubungannya antara kuat lemahnya pendapat keharaman musik, dengan keberadaan oknum yang mengharamkan musik namun masih menikmatinya. Itu.
Leave a Reply