Oleh: Muhammad Abduh Negara
Salah satu argumen yang agak “kurang mengena” adalah mengkritik pengelola sekolah yang dianggap mahal biayanya, dengan argumen bahwa sang pengelola ini ketika kuliah di LIPIA, UIM dan semisalnya, gratis bahkan dapat pesangon bulanan, tapi ketika mengelola sekolah malah mematok biaya yang begitu tinggi.
Argumen ini kurang mengena dan cenderung “cacat nalar”, karena:
1. Biaya pengelolaan lembaga pendidikan, apalagi dengan sistem pondok, itu memang tinggi. Coba saja hitung biaya makan, tempat nginap, honor guru, biaya laundry (pada sebagian tempat), dll., secara satuan. Tentu tinggi kan?
Lalu jika tinggi, mengapa kampus-kampus Saudi itu bisa gratis bahkan memberi uang pesangon bagi mahasiswanya? Jawabannya mudah sekali, karena itu disubsidi oleh pemerintahnya yang memang kaya raya.
Kalau sekolah atau pesantren swasta, siapa yang memberikan subsidi?
2. Para ustadz tersebut memang kuliah gratis dan dapat pesangon, tapi itu kan hanya berlaku saat mereka kuliah. Setelah lulus, kan tidak ada pesangon lagi. Artinya, saat mereka mengelola sekolah dan pesantren tersebut, mereka tidak lagi punya support dari mukafaah a.k.a. uang bulanan tersebut.
Tentu beda halnya, seandainya mereka tetap dapat mukafaah sampai seumur hidup, apalagi jika berlipat-lipat jumlahnya, husnuzhzhan saya, mereka akan gunakan dana mukafaah tersebut untuk mensubsidi biaya operasional sekolah dan pesantrennya.
3. Apakah karena pernah kuliah secara gratis, lalu mereka jadi terlarang mematok biaya saat mengajar atau mengelola sekolah? Jawabannya tidak terlarang, kecuali:
(a) Anda beranggapan mengajar agama, termasuk mengelola lembaga pendidikan Islam itu, tidak boleh menarik uang dari peserta didik, atau
(b) Ada syarat yang disepakati dari tempat kuliahnya dulu, bahwa alumninya tidak boleh mematok biaya saat mengajar atau mengelola lembaga pendidikan.
Lebih-lebih, kita sudah paham realitanya, mengikuti poin 1 dan 2 di atas.
Perlu dicatat dan digaris bawahi, poin tulisan ini adalah mengkritik cara berargumentasi yang keliru, bukan membahas fakta kasus demi kasus yang terjadi secara utuh. Saya percaya, kalau sudah bicara kasus, maka harus dilihat satu persatu, dan tidak bisa dipukul rata.
***
Kalaupun ada yang mau dikritik, maka hal-hal berikut ini –jika anda temukan faktanya pada kasus tertentu–, yang lebih layak dikritik:
1. Biaya sekolah atau pesantren yang begitu tinggi, ternyata digunakan untuk memperkaya diri dan hidup mewah pengelola yayasan, apalagi jika mereka sendiri sebenarnya tidak terlibat langsung dalam proses belajar mengajar, sedangkan para pengajarnya digaji alakadarnya, bahkan sampai tidak sanggup menyekolahkan anaknya di tempat mereka mengajar.
2. Pengelolaan rutin bulanan dan tahunan sekolah atau pesantren sudah dipenuhi oleh donasi umat, tapi tetap menarik biaya tinggi pada santri. Tentu catatannya, donasi yang dimaksud di sini adalah donasi untuk keperluan operasional bulanan dan tahunan, bukan sekadar donasi pembangunan. Karena jika sekadar donasi pembangunan, tentu sekolah atau pesantren tersebut tetap butuh dana besar untuk operasional rutinnya.
3. Dan semisalnya.
Leave a Reply