Oleh: Muhammad Abduh Negara
Wara’ memiliki empat tingkatan, yaitu:
(1) Bersikap wara’ terhadap perkara-perkara yang jelas keharamannya. Ini adalah wara’ yang yang menjadi syarat ‘adalah (sifat adil) dalam kesaksian. Jika seseorang kehilangan sifat wara’ pada tingkat ini, dia tidak layak menjadi saksi, qadhi, dan penguasa.
Ini adalah sifat wara’ yang menjadi perhatian para ahli fiqih. Sedangkan tiga berikutnya, sudah di luar bidang kajian mereka.
(2) Wara’-nya orang-orang shalih (shalihin), yaitu bersikap hati-hati terhadap perkara syubhat, yang tidak jelas halal haramnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tinggalkanlah hal-hal yang membuatmu ragu, kepada hal-hal yang tidak mendatangkan keraguan padamu.”
(3) Tingkat yang lebih tinggi, wara’-nya orang-orang yang bertakwa (muttaqin), yaitu meninggalkan perkara halal (bukan syubhat) karena khawatir jatuh pada perkara yang haram. Misalnya, meninggalkan pembicaraan tentang keadaan orang lain, karena khawatir jatuh pada ghibah yang terlarang. Nabi bersabda, “Seseorang tidak berada pada derajat taqwa, hingga dia meninggalkan perkara yang dibolehkan, karena khawatir jatuh pada perkara yang tidak dibolehkan.”
(4) Yang paling tinggi, wara’-nya shiddiqin, yaitu berpaling dari semua hal selain Allah ta’ala, karena khawatir ada sebagian waktunya habis untuk perkara yang tidak mendekatkannya kepada Allah ta’ala.
(Ihya ‘Ulumiddin, Imam Hujjatul Islam al-Ghazali, Jilid 1, Hlm. 71-72, Dar al-Minhaj)
Catatan M4N:
Tingkatan wara’ ini harus ditempuh oleh seseorang secara bertahap, artinya seseorang baru layak masuk tingkat kedua, jika dia sudah istiqamah pada wara’ tingkat pertama, demikian seterusnya. Kalau ada yang memaksakan diri berada pada wara’ tingkat ketiga atau keempat, sedangkan wara’ tingkat pertama belum teruji, kehidupannya akan kacau dan penuh kegoncangan, dan sangat mungkin berujung lari dari Islam, wal ‘iyadzu billah.
Bertahap, ya ikhwah. Ini sunnah kehidupan.



Leave a Reply