Oleh: Muhammad Abduh Negara
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, dalam “Al-Fatwa Bayna Al-Indhibath Wa At-Tasayyub” menyebutkan dua kalangan yang sama-sama jatuh dalam kesalahan fatal dalam fatwa. Kalangan pertama, beliau sebut dengan “‘abiid at-tathawwur” atau “budak perkembangan zaman”, yang ingin mengubah segala hal dan ketetapan hukum dengan alasan perubahan dan perkembangan zaman.
Beliau menyatakan, “Mereka tidak ingin ada satu pun yang tetap dalam keadaannya semula. Mereka ingin mengubah segala hal, dengan argumentasi bahwa alam ini senantiasa berkembang dan kehidupan senantiasa berubah. Mereka ini yang disindir oleh sebagian sastrawan bahwa mereka ingin mengubah agama, bahasa, matahari dan bulan sekalian.”
Sebagai contoh, menurut kalangan ini, dulu riba haram, karena yang mengambil harta riba adalah orang-orang kaya dan kuat, sedangkan pihak yang diambil hartanya adalah orang-orang lemah dan memerlukan uang. Sedangkan di masa sekarang, orang yang mengambil harta riba adalah para pekerja dan pegawai rendahan yang menyimpan sedikit uangnya di bank, untuk mendapatkan sedikit bunga, sedangkan yang diambil hartanya adalah pihak bank yang kaya raya dan kuat ekonominya. Perubahan keadaan ini menurut mereka meniscayakan perubahan hukum. Mereka tak peduli, bahwa haramnya riba ini ditegaskan dalam Al-Qur’an Al-Karim, pelakunya diancam diperangi oleh Allah ta’ala, dan keharaman riba bisa diketahui ‘illah dan hikmahnya oleh para ulama yang mendalam ilmunya, dan itu masih berlaku hingga masa sekarang.
Sedangkan kalangan kedua, disebut oleh Al-Qaradhawi dengan istilah “al-mutazammitun”, atau “orang-orang yang terlalu kaku”. Kalangan kedua ini kebalikan dari kalangan pertama. Mereka seakan ingin mengharamkan segala hal, dan membuat manusia jatuh dalam kesempitan dan kesulitan. Mereka tak menelaah dalil secara menyeluruh, baik dari nash-nash syar’i maupun dari kaidah-kaidah pokok dalam Islam, sebelum menetapkan hukum haram.
Al-Qaradhawi mengutip beberapa ayat Al-Qur’an dan kalam ulama terdahulu, untuk menunjukkan sikap mudah mengharamkan ini menyelisihi petunjuk Islam, sebagaimana dipahami salafuna ash-shalih.
Beliau misalnya mengutip pernyataan Imam Malik, bahwa generasi awal Islam, tidak biasa menyatakan “ini halal” dan “ini haram” pada perkara yang berasal dari ijtihad mereka. Mereka hanya menyatakan “saya tidak menyukai ini” atau “saya menyukai ini”. Adapun penegasan halal dan haram, atas dasar ijtihad, ini merupakan kedustaan atas nama Allah. Yang halal adalah apa yang dihalalkan Allah dan Rasul-Nya, dan yang haram adalah yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya.
Saya perlu beri catatan di sini, bahwa penggunaan istilah halal dan haram untuk perkara ijtihadi, tidaklah terlarang secara mutlak. Pernyataan Imam Malik di atas, hanya menunjukkan kehati-hatian generasi awal Islam dalam menetapkan hukum, karena khawatir jatuh pada berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya.
Kembali ke topik. Al-Qaradhawi menyatakan bahwa dua kalangan ini sama-sama jatuh dalam kesalahan, jatuh pada sikap ifrath dan tafrith, dan jauh dari ruh tawassuth (pertengahan dalam beragama) yang merupakan ajaran Islam yang hakiki.
Ruh tawassuth atau i’tidal ini, merupakan hal yang sangat berharga, yang perlu diperhatikan oleh setiap mufti, faqih dan mutafaqqih. Kita berhak berbeda atau tidak mengikuti pendapat Al-Qaradhawi dalam satu atau sekian persoalan. Toh, beliau bukan manusia yang ma’shum, juga bukan standar kebenaran. Beliau sama seperti ulama lainnya, pendapatnya boleh diikuti, boleh juga ditinggalkan. Namun panduan beliau tentang ruh tawassuth ini, sangat layak dipegang, karena itulah yang diajarkan Islam pada kita.
Banyak sekali ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan ruh tawassuth ini. Syaikh Hafizhurrahman Al-A’zhami Al-‘Umari, dalam makalah beliau “Al-I’tidal Wa At-Tawazun Min Khilal Taujihat Al-Kitab Wa As-Sunnah” menyebutkan sekian ayat Al-Qur’an dan Hadits tersebut. Di sini saya hanya akan menyebutkan masing-masing satu saja, sebagai contoh.
Allah ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا
Artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebihan, dan tidak pula kikir. Dan pembelanjaan harta mereka di tengah-tengah dua keadaan tersebut.” (QS. Al-Furqan [25]: 67)
Dalam ayat di atas, Allah ta’ala menyebutkan salah satu sifat ‘ibadurrahman, hamba-hamba Allah yang terpilih, dan sifat tersebut adalah pertengahan dalam membelanjakan harta, tidak ifrath dan tidak tafrith, tidak berlebih-lebihan, tidak juga kikir.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ
Artinya: “Jauhilah sikap melampaui batas dalam agama, karena yang menghancurkan kaum sebelum kalian adalah sikap melampaui batas dalam agama.” (HR. An-Nasai dan Ibnu Majah)
Hadits di atas adalah salah satu Hadits dari sekian Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang menunjukkan bahayanya sikap ghuluw atau melampaui batas dalam beragama, sekaligus menunjukkan bahwa sikap tawassuth, tawazun dan i’tidal adalah ajaran Islam yang hakiki.
Seorang mufti atau ahli fiqih, dengan ijtihadnya, boleh memfatwakan haram atau halalnya sesuatu, tapi itu harus dilandasi oleh dasar yang kuat. Berfatwa dan berijtihad dengan penuh kehati-hatian dan sikap wara’, memperhatikan nash-nash syar’i sekaligus memperhatikan ruh dan maqashid (tujuan) dari Syariah, serta prinsip taysir (memudahkan) dan raf’ul haraj (menghilangkan kesulitan).
Kalangan budak perkembangan zaman, berani menganulir nash-nash syar’i yang muhkam (jelas tanpa kesamaran), demi hasratnya untuk menghalalkan segala sesuatu. Sebaliknya, orang-orang yang terlalu kaku, bermudah-mudahan dalam mengharamkan sesuatu, tanpa menelaah dalil-dalil syar’i secara menyeluruh dan tidak memperhatikan ruh dan tujuan Syariah. Dua sikap ini perlu dijauhi.
Wallahu a’lam bish shawab.
Leave a Reply