Oleh: Muhammad Abduh Negara
Salah satu contoh jahl atau jahl murakkab, yang sering dicontohkan ulama, adalah kejahilan falasifah yang beranggapan bahwa alam semesta ini ada tanpa ada awalnya, ia qadim kata mereka. Sedangkan yang benar, semua selain Allah itu makhluk, diciptakan, haadits, ada setelah ketiadaan sebelumnya.
Padahal siapapun tahu, untuk menjadi seorang filsuf, ia harus memiliki otak encer di atas rata-rata, dan memiliki banyak waktu untuk merenung, mengamati dan meneliti. Pekerjaan para filsuf dulu itu, berpikir dan merenung secara sangat mendalam, mengaitkan satu hal dengan banyak hal lain yang dianggap berhubungan, mengamati dan meneliti, sampai pada kesimpulan yang ingin mereka dapatkan.
Pekerjaan mereka ini jauh lebih susah dari yang dikerjakan banyak orang yang sudah punya gelar akademik Ph.D (Doctor of Philosophy), atau sudah meraih jabatan akademik profesor saat ini. Namun saat kesimpulan penelitian falasifah itu salah, jauh dari kebenaran, para ulama menyebutnya sebagai jahl murakkab.
Tradisi yang berkembang dalam keilmuan Islam, sesuatu disebut ilmu jika ia benar secara pasti (qath’i) atau minimal benar menurut ghalabatuzh zhann. Tapi kebenaran yang berada pada tingkat zhanni ini masih debatable, mukhtalaf fiih. Sebaliknya, jika dipastikan ia salah, batil, menyelisihi kesepakatan ilmuwan ilmu syar’i (ulama) yang qath’i, maka itu adalah kejahilan, bahkan jahil kuadrat, bukan zhann apalagi ilmu, meski yang menyampaikannya lulusan S12 atau telah bekerja sebagai profesor selama 100 tahun.
Leave a Reply