Oleh: Muhammad Abduh Negara
Syaikh Mushthafa Ahmad Az-Zarqa, dalam “Al-Madkhal Al-Fiqhi Al-‘Amm”, menjelaskan perbedaan antara Syariah dengan fiqih. Kata beliau, “Salah satu hal yang penting adalah membedakan antara Syariah Islamiyyah dan Fiqih Islami”.
Kemudian beliau menjelaskan, bahwa Syariah adalah nash-nash dari Al-Qur’an Al-Karim, yang diwahyukan oleh Allah ta’ala kepada Rasul-Nya, serta As-Sunnah An-Nabawiyyah, yang merupakan perkataan dan perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang menjelaskan dan merincikan kandungan Al=Qur’an, serta bentuk praktis pengamalan perintah, larangan dan hal yang dibolehkan oleh Allah ta’ala. Adapun fiqih, ia adalah pemahaman para ulama terhadap kandungan nash-nash syara’ dan hasil istinbath (penggalian hukum) mereka dari nash-nash tersebut.
Syariah itu suci dan aman dari kemungkinan keliru. Ia adalah petunjuk bagi kehidupan manusia agar selamat dunia dan akhirat. Sedangkan fiqih, karena ia adalah hasil usaha intelektual seorang manusia, maka mungkin benar, mungkin juga salah. Dan hasil istinbath atau ijtihad seorang ahli fiqih bisa berbeda dengan ahli fiqih lain, dan itu jelas terlihat oleh siapapun yang pernah membaca kitab-kitab fiqih perbandingan madzhab.
Syariah tak mungkin salah, karena ia adalah wahyu dari Allah ta’ala, baik lafazh dan maknanya, yaitu Al-Qur’an, atau maknanya saja, yaitu As-Sunnah. Sebaliknya, pendapat fiqih seorang ulama mungkin salah, sealim apapun ulama tersebut.
Dr. Muhammad Yusuf Musa, dalam “Al-Madkhal Li Dirasah Al-Fiqh Al-Islami” meninjau dari sisi lain. Menurut beliau, Syariah itu lebih umum dari fiqih. Beliau menyatakan, “Di fakultas-fakultas hukum di universitas-universitas Arab, digunakan kata Syariah Islamiyyah untuk Fiqih Islami, bahkan ia dianggap sinonim. Padahal Syariah jauh lebih umum maknanya dari fiqih.”
Beliau menyatakan Syariah itu luas, mencakup semua hal yang disampaikan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, baik berupa persoalan keyakinan, akhlak dan juga amal zhahir. Dari sini, bisa dikatakan, Syariah itu adalah diin Islam itu sendiri. Sedangkan fiqih hanya terbatas pada amal zhahir saja, urusan halal-haram, dan semisalnya.
Yang tampak dari penjelasan beliau, beliau tidak menganggap Syariah dan fiqih itu berbeda, dalam arti Syariah itu satu hal, sedangkan fiqih adalah hal lain. Beliau malah melihatnya dari luasnya cakupan. Boleh dikatakan, salah satu cakupan Syariah adalah fiqih, atau fiqih adalah salah satu unsur dalam Syariah.
Melihat dari sisi ini, tampak ada perbedaan penjelasan antara Syaikh Mushthafa Az-Zarqa dan Dr. Muhammad Yusuf Musa. Namun kita tak perlu melihatnya sebagai satu hal yang ta’arudh apalagi tanaqudh (bertolak belakang sepenuhnya dan tak mungkin bisa dipertemukan). Perbedaan penjelasan semacam ini, bisa kita lihat dari perbedaan tinjauan saja. Bahkan, jika dikatakan Syariah itu sinonim dengan fiqih, dari satu sisi, juga bisa kita terima. Toh ini hanya masalah istilah saja. Yang penting, kita memahami betul hakikat dari yang mereka jelaskan ini.
Poin terpenting dari penjelasan Az-Zarqa adalah, apakah pendapat seorang ulama fiqih itu setara dengan wahyu Allah ta’ala, sehingga jika ada yang bertentangan dengannya, maka ia layak dikecam keras, ditahdzir, bahkan divonis sesat? Jawabannya, tentu tidak. Saya pernah mengulas hal ini, dalam tulisan saya berjudul, “Fiqih Islami, Sisi Ilahi dan Sisi Basyari”, yang juga beberapa kali saya sampaikan dalam daurah yang kami adakan.
Fiqih Islam, meski ia dilandasi oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, tapi ia tetap hasil ijtihad manusia, yang bisa benar, bisa juga salah. Ia tak boleh didudukkan pada posisi wahyu yang ma’shum. Karena itu, jika seseorang menyalahkan satu pendapat fiqih, maka harus dipahami bahwa yang dianggap salah itu adalah pemahaman sang ahli fiqih, bukan wahyu atau nash syar’i. Az-Zarqa menyatakan, “Fiqih adalah pemahaman dan pendapat seorang ahli fiqih. Meskipun ia dilandasi oleh nash syar’i, namun ia bisa diperdebatkan, bisa disetujui dan bisa juga dianggap salah. Namun perlu dipahami, yang disalahkan di sini adalah pemahaman sang ahli fiqih, bukan nash syar’i.”
Az-Zarqa juga menjelaskan, bahwa hukum-hukum yang disebutkan di kitab-kitab fiqih, itu ada dua macam. Pertama, hukum yang ditetapkan oleh nash yang qath’i tsubut (sumbernya pasti benar) dan qath’i dalalah (makna yang ditunjukkannya hanya itu saja dan pasti benar), seperti kewajiban shalat, zakat, puasa Ramadhan, memenuhi akad dan jihad sesuai kemampuan. Semua hal ini, pada hukum pokoknya, bukan perinciannya, ditetapkan melalui dalil yang qath’i tsubut dan dalalahnya, sehingga ia tak boleh diselisihi sama sekali.
Kedua, hukum yang tidak disebutkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan akan ditetapkan oleh seorang mujtahid dari dalil-dalil lainnya, atau hukum yang disebutkan oleh nash, namun derajatnya zhanni (mungkin keliru), baik tsubut atau dalalahnya. Pada bagian yang kedua inilah, banyak terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Beliau kemudian menjelaskan, bahwa hukum yang pertama, yang ditetapkan oleh nash yang qath’i tsubut dan dalalahnya, itu sakral dan suci, mengikuti sakralitas dan sucinya nash syar’i. Sedangkan hukum yang kedua, ia tidak memiliki sifat tersebut, dan di bagian inilah ijtihad ulama sangat berperan, dan perbedaan pendapat mereka menjadi sebuah keniscayaan.
Memahami konsep ini sangat penting, karena banyak kita temukan, orang-orang yang begitu mensakralkan pendapat guru atau komunitasnya, seakan hanya pendapat itulah yang mengikuti Sunnah, yang lurus, yang sesuai syara’, dan semisalnya. Orang yang menyelisihi pendapat tersebut, langsung divonis menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau mengikuti hawa nafsu. Padahal yang diselisihi adalah hasil ijtihad sang ulama, bukan nash-nash syar’i.
Namun perlu ditekankan juga, meski fiqih Islam, dalam arti hasil ijtihad ulama, itu tidak setara dengan wahyu, namun bukan berarti kita bisa mengambil dan meninggalkannya seenak kita sendiri. Atau seenaknya kita mengajukan berbagai pendapat baru, dan menganggapnya juga layak diikuti. Ijtihad, meskipun hasil usaha intelektual seorang manusia, ia tetap harus dilandasi oleh dalil, baik nash secara langsung atau dalil lain yang ditunjukkan oleh nash, serta harus mengikuti metode memahami dalil yang telah diuji kevalidannya oleh para ulama selama lebih dari seribu tahun, yang itu kita kenal dengan ilmu ushul fiqih.
Sebagian orang, dengan seenak jidatnya, menyatakan Syariah itu beda dengan fiqih, dan yang mereka inginkan adalah, kita boleh meninggalkan pendapat satu ulama, bahkan pendapat seluruh ulama, dan mengikuti hawa nafsu dan kengawuran mereka. Ini jelas bukan yang dimaksud oleh Az-Zarqa dan ulama lainnya.
Wallahu a’lam bish shawab.
Leave a Reply