Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Fiqih Madzhab Atau Fiqih Tarjih?

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Dr. Shalih bin Salim Ash-Shahud, dalam “At-Tamadzhub Laa Yu’aridhu Ad-Dalil Wa Laa Al-Qaul Ar-Rajih” (halaman 144), menyatakan: “Mencari dalil adalah perkara yang sangat terpuji, bahkan itu memang harus dilakukan, demikian juga menemukan pendapat yang rajih (kuat). Namun itu harus dilakukan pada waktu yang tepat. Ketika seseorang belajar ilmu fiqih dan berbagai ilmu syar’i lainnya kepada seorang guru yang pakar di bidangnya, dan ia mempelajari ilmu ini secara bertahap, dengan belajar kitab-kitab ringkas lebih dulu, kemudian kitab-kitab yang berisi penjelasan atas kitab ringkas tersebut, kemudian ia juga belajar kitab-kitab fiqih tingkat pertengahan kepada ulama. Setelah itu, ia mengkaji dalil-dalil madzhab, ta’lilat dan taujihatnya. Kemudian ia juga belajar ushul dan kaidahnya. Lalu ia menelaah kitab-kitab yang berisi perbedaan pandangan ulama. Selain itu, ia juga mempelajari ilmu-ilmu lain yang berkaitan, seperti lughah, nahwu, balaghah, sebab turunnya ayat, nasikh mansukh, dan lain-lain. Setelah tahapan yang sangat berat dan lama ini, baru ia mampu meneliti dan mencari pendapat yang rajih dan paling sesuai dengan dalil.”

Perkataan Ash-Shahud ini, sangat jelas memberikan panduan bagi kita, pada pertanyaan, “Kapan seseorang layak melakukan tarjih (menguatkan satu pendapat ulama atas pendapat ulama lainnya)?”. Jawabannya adalah, saat ia sudah memiliki kapasitas ilmu yang memadai untuk melakukan tarjih. Jika tidak, maka yang terjadi hanya malpraktik tarjih. Misal, seseorang berkata, “Pendapat yang rajih adalah…”, padahal ia belum pernah belajar ushul fiqih secara runtut dan sistematis. Apa landasan ia mengatakan bahwa pendapat yang rajih dan lebih sesuai dengan dalil adalah pendapat syaikh fulan? Tidak ada. Ia hanya bicara ngawur saja, bicara tanpa ilmu.

Kita beralih ke urgensi belajar fiqih melalui madzhab fiqih tertentu. Dr. Hamd bin Ibrahim Asy-Syatwi, dalam “Ath-Thariq Ila Al-Fiqh” (halaman 36), menyatakan: “Bermadzhab pada awal proses belajar fiqih merupakan perkara yang sangat urgen. Dari zaman ke zaman, manfaat dan pengaruh baik dari pembelajaran mengikuti madzhab ini telah terbukti. Di antara bukti teranyar adalah, para ulama besar kita, yang pengamalan syariah di negeri-negeri ini mengikuti fiqih mereka, mereka memperoleh ilmu mereka tersebut melalui sumber ini (mengikuti madzhab fiqih tertentu), dan menempuh jalan menuntut ilmu melalui jalan ini. Hingga kemudian mereka mencapai derajat yang tinggi dalam tahqiq dan tarjih, dan memiliki kemampuan dalam mengajar fiqih dan berfatwa.”

Dari pernyataan Asy-Syatwi di atas, dan Ash-Shahud sebelumnya, ada beberapa hal yang bisa kita simpulkan:

1. Mencari pendapat yang paling kuat (rajih) di antara pendapat ulama, atau diistilahkan dengan “tarjih’, bukanlah hal yang tercela. Bahkan ia satu keharusan, karena kita memang dituntut untuk mengikuti pendapat yang paling dekat dengan kebenaran, paling sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Artinya: “Jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa [4]: 59)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini merupakan perintah Allah ‘azza wa jalla untuk merujuk kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dalam setiap perkara yang diperselisihkan oleh manusia, baik dalam hal pokok-pokok agama maupun cabang-cabangnya.

Dan ini juga yang diamalkan oleh para ulama kita, sejak era shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in, dan terus berlaku di masa-masa berikutnya. Seluruh pendapat yang dikemukakan oleh para imam, termasuk Imam Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal, adalah pendapat yang menurut mereka paling kuat dari sisi dalil dan paling dekat dengan kebenaran. Dan mereka tidak sedikit pun keberatan, untuk mengubah pendapat mereka, saat menemukan ada pendapat yang lebih kuat (rajih). Salah satu contoh yang paling masyhur adalah, perubahan sebagian pendapat Imam Asy-Syafi’i, dari pendapat yang beliau kemukakan sebelum ke Mesir, dengan pendapat beliau setelah berada di Mesir, yang kita kenal dengan istilah qaul qadim dan qaul jadid.

Dr. ‘Ali Jum’ah dalam “Al-Imam Asy-Syafi’i Wa Madrasatuhu Al-Fiqhiyyah” (halaman 32-33) mengkritisi pandangan yang tersebar luas, bahwa Imam Asy-Syafi’i meninggalkan sebagian pendapat lamanya (madzhab qadim) dan membangun pendapat-pendapat barunya (madzhab jadid) di Mesir, karena melihat ada perbedaan tradisi dan kebiasaan penduduk Mesir dibandingkan penduduk Irak, yang menjadi tempat beliau mengasaskan madzhab lama beliau.

Menurut beliau, pandangan ini tidak sesuai dengan fakta. Seandainya benar, alasan beliau mengubah pendapat adalah karena perbedaan tradisi dan kebiasaan, maka penduduk Irak yang mengikuti madzhab beliau harusnya tetap bertahan dengan madzhab qadim, karena itu lebih sesuai dengan kehidupan mereka di Irak. Tapi faktanya tidak seperti itu. Mereka secara umum tetap mengikuti madzhab jadid sang imam.

Selain itu, orang-orang yang meneliti perubahan pandangan Asy-Syafi’i dari madzhab qadim menuju madzhab jadid beliau, menemukan bahwa perubahan itu tidak karena ‘urf atau ‘adah yang berbeda, namun karena kajian dan tarjih terhadap dalil-dalil yang ada.

Demikian juga, pada kasus-kasus tertentu, saat fuqaha Syafi’iyyah lebih menguatkan pendapat madzhab qadim Asy-Syafi’i dari madzhab jadid beliau, mereka meninjaunya dari sisi kekuatan dalil yang digunakan dalam madzhab qadim, bukan karena mereka penduduk Irak sehingga lebih memilih madzhab qadim.

‘Ali Jum’ah mengutip pernyataan Imam Ahmad, saat beliau ditanya tentang kitab-kitab Asy-Syafi’i, mana yang lebih beliau pilih dan sukai, apakah kitab-kitab yang ditulis di Irak atau yang di Mesir. Imam Ahmad berkata, “Hendaknya kamu mengikuti kitab-kitab yang beliau tulis di Mesir. Beliau menulis kitab-kitab ini di Irak dan belum menyempurnakannya. Setelah itu beliau ke Mesir dan menyempurnakannya.”

Ada juga riwayat, seorang murid Asy-Syafi’i tidak menulis kata-kata Asy-Syafi’i, setelah dicek, ternyata ia khawatir, karena bisa jadi Asy-Syafi’i mengemukakan pendapat, kemudian mengubahnya, demikian seterusnya. Asy-Syafi’i kemudian berkata, “al-aan hamiya al-wathis”. Maksudnya, beliau perlu menjelaskan hal tersebut.

Seorang mujtahid, jika terdapat dalil shahih di sisinya, wajib baginya mengamalkan kandungannya. Jika kemudian ia menemukan dalil lain yang lebih kuat dari dalil pertama, yang menetapkan hukum yang berbeda, maka wajib baginya untuk meninggalkan pendapatnya yang pertama dan beralih ke pendapat kedua yang ditunjukkan oleh dalil yang lebih kuat tersebut. Selesai kutipan dari Dr. ‘Ali Jum’ah.

2. Mencari pendapat yang paling kuat (rajih), itu setelah seseorang matang dalam ilmu dan fiqih, bukan pada saat ia baru belajar.

Orang awam dan yang baru belajar fiqih dan berbagai ilmu syar’i lainnya, tugasnya adalah taqlid, mengikuti pendapat ulama, bukan meneliti dan memilah berbagai pendapat ulama tersebut dan menentukan yang paling kuat dari semuanya. Mereka tak bisa melakukannya, karena ilmu alat untuk melakukan penelitian tersebut belum matang, bahkan belum dimiliki sama sekali.

Menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili, dalam “Ushul Al-Fiqh Al-Islami” (juz 2, halaman 407-408), pendapat yang menyatakan taqlid wajib bagi orang yang tidak memiliki kemampuan ijtihad, merupakan pendapat mayoritas ulama muhaqqiq dan para pengikut imam yang empat. Salah satu hujjah mereka adalah ijma’ shahabat dan tabi’in. Para mujtahid dari kalangan shahabat dan tabi’in biasa memberikan fatwa kepada orang awam yang bertanya kepada mereka tentang persoalan-persoalan baru, tanpa ada pengingkaran dari salah seorang di antara mereka atas hal ini. Mereka pun tidak melarang kalangan awam bertanya kepada mereka, atau memerintahkan mereka mencapai derajat mujtahid. Dan ini, menurut Az-Zuhaili merupakan perkara yang sudah ma’lum bidh dharurah, dan mutawatir di kalangan ulama dan awam.

3. Tidak ada pertentangan antara madzhab fiqih dan tarjih.

Hal ini dilihat dari dua sisi. Satu, madzhab fiqih atau pendapat fiqih seorang imam, itu hasil tarjihnya terhadap dalil-dalil yang ada, juga tarjih atas pendapat-pendapat pendahulunya dilihat dari sisi dalil dan istidlalnya. Jadi, madzhab itu hasil dari tarjih. Dua, kompetensi tarjih itu dimiliki oleh seseorang, ketika ia telah menempuh pembelajaran fiqih melalui tradisi madzhab dalam waktu lama.

***

Kemudian, adakah yang disebut “fiqih tarjih” atau “madzhab tarjih”? Jawabannya, tidak ada. Madzhab itu dinisbatkan kepada ulama yang mengemukakan pendapat. Jadi, sebagaimana sah, kita katakan, madzhab Abu Hanifah, madzhab Malik, madzhab Asy-Syafi’i, maka sah juga kita katakan, madzhab Al-Qaradhawi, madzhab Bin Baz, madzhab Al-‘Utsaimin, dalam arti, pendapat-pendapat mereka dalam persoalan tertentu. Meski tentu, tidak sama antara madzhab empat yang telah kokoh lebih dari seribu tahun dan diberi khidmah oleh ribuan ulama, dengan “madzhab” para ulama kontemporer.

Perbedaan lain, madzhab fiqih yang empat, telah mengalami perkembangan makna, sehingga ia tidak hanya mencakup pendapat para imam pendiri madzhab, namun juga takhrij dan fatwa dari para ulama pengikut madzhab tersebut, yang sesuai dengan ushul dan kaidah yang dibangun imam pendiri madzhab. Sebagaimana dinyatakan oleh Ash-Shahud dalam kitabnya (halaman 140-141).

Kembali ke fiqih tarjih dan madzhab tarjih. Hal ini hakikatnya tidak ada. Bahkan, sebagaimana saya sampaikan sebelumnya, masing-masing madzhab itu adalah hasil tarjih sang imam terhadap dalil dan pendapat-pendapat yang ada. Jadi, setiap madzhab telah mengumpulkan seluruh pendapat yang rajih, berdasarkan ijtihad mereka. Dan karena itu hasil ijtihad, bisa benar, bisa juga salah, sebagaimana ijtihad ulama yang lain.

Tidak ada kumpulan pendapat yang hanya memuat pendapat yang rajih saja dari sisi dalil, yang menjadi patokan kebenaran bagi seluruh orang. Dalam ranah ijtihad, pendapat yang rajih itu sifatnya nisbi, tergantung rajih menurut siapa. Jadi, ungkapan “pendapat yang rajih adalah…”, jika dianggap mutlak, itu tidak benar. Yang tepat adalah ungkapan, “pendapat yang rajih menurut syaikh fulan adalah…”. Artinya, pendapat tersebut, berdasarkan hasil penelitian syaikh fulan, adalah pendapat yang paling kuat dari sisi dalil. Namun belum tentu, itu juga pendapat yang rajih menurut syaikh ‘allan, bisa jadi menurutnya, itu malah pendapat yang lemah (marjuh).

Kalaupun seseorang ingin menyebutkan pendapat yang rajih menurut penelitiannya sendiri, ia perlu mengungkapkan dengan ungkapan, “pendapat yang rajih menurut saya”, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para ulama. Atau, boleh juga mengungkapkan dengan, “pendapat yang rajih adalah…”, tapi dengan makna, bahwa itu pendapat yang rajih menurutnya, bukan pendapat yang rajih secara mutlak, dan wajib diikuti oleh semua orang. Tentu dengan catatan, ungkapan-ungkapan ini, hanya layak disampaikan oleh orang yang telah memiliki kompetensi dan kapasitas keilmuan yang memadai.

Karena istilah “fiqih tarjih” atau “madzhab tarjih”, secara mutlak, itu tidak ada. Maka tidak ada juga istilah semisal, “belajar fiqih mengikuti madzhab tarjih”. Yang ada adalah, belajar fiqih mengikuti tradisi satu madzhab fiqih tertentu, dan mengikuti hasil tarjih madzhab tersebut, atau belajar fiqih mengikuti hasil tarjih dari guru fiqih anda, atau tarjih dari syaikh atau kitab yang menjadi rujukan dari guru fiqih anda. Jika anda belajar fiqih dari kitab “Fiqh As-Sunnah” karya Syaikh Sayyid Sabiq, maka artinya, anda belajar fiqih mengikuti hasil tarjih dari sang syaikh, yang mungkin benar, mungkin juga keliru. Demikian juga saat anda belajar “Shifah Shalah An-Nabi” karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, atau kitab-kitab yang lain.

Dalam konteks belajar (tafaqquh), tentu belajar melalui tradisi madzhab diunggulkan, karena beberapa alasan, di antaranya:

1. Tradisi belajar mengikuti madzhab ini, adalah tradisi baku dan kokoh, yang telah dilakukan oleh para ulama dari zaman ke zaman, sejak berkembangnya madzhab yang empat, di abad ke-2 dan ke-3 hijriyyah. Anda kenal Ibnu Taimiyyah? Beliau tumbuh dan belajar dari madrasah fiqih madzhab Hanbali. Anda kenal Al-Hafizh Ibnu Hajar, penulis “Fath Al-Bari” yang sangat masyhur itu? Beliau tumbuh dan belajar dari madrasah fiqih madzhab Syafi’i. Sebutkan saja nama-nama ulama besar, baik di bidang fiqih, tafsir, Hadits, dan lain-lain, pasca era imam empat madzhab, maka anda akan menemukan, mereka bertafaqquh mengikuti satu madzhab fiqih tertentu.

Jika ada metode yang terbukti berhasil selama ratusan tahun, dan sampai sekarang belum pernah gagal, kemudian ada metode lain yang coba ditawarkan di masa sekarang, yang belum lulus uji kompetensi, belum ada bukti jelas atas keberhasilannya, kira-kira kita akan memilih yang mana?

2. Kitab-kitab madzhab, telah diberi khidmah oleh banyak sekali ulama, dengan penelitian ulang, penentuan yang rajih dari yang marjuh dalam madzhab, ringkasan, penjelasan atas ringkasan, dan lain-lain. Sebagai contoh, kitab “Minhaj Ath-Thalibin” adalah kitab karya Imam An-Nawawi, yang merupakan ringkasan kitab “Al-Muharrar” karya Imam Ar-Rafi’i. Kitab “Minhaj Ath-Thalibin” ini diberi syarah oleh banyak sekali ulama, di antara syarah yang paling masyhur adalah “Kanz Ar-Raghibin” karya Imam Al-Mahalli, “Mughni Al-Muhtaj” karya Imam Asy-Syirbini, “Tuhfah Al-Muhtaj” karya Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, dan “Nihayah Al-Muhtaj” karya Imam Syamsuddin Ar-Ramli.

Ada dua kitab hasyiyah yang populer untuk “Kanz Ar-Raghibin”, yaitu “Hasyiyah Al-Qalyubi” dan “Hasyiyah ‘Amirah”. Untuk “Tuhfah Al-Muhtaj”, ada “Hasyiyah Asy-Syarwani” dan “Hasyiyah Al-‘Abbadi”. Dan untuk “Nihayah Al-Muhtaj” ada “Hasyiyah Asy-Syabramallisi” dan “Hasyiyah Al-Maghribi Ar-Rasyidi”. Kemudian, ada juga kitab “Manhaj Ath-Thullab” karya Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari, yang merupakan ringkasan dari “Minhaj Ath-Thalibin”. Kemudian kitab ini, beliau beri syarah dengan nama “Fath Al-Wahhab”. Setelah itu datang beberapa hasyiyah atas kitab “Fath Al-Wahhab” ini, di antaranya yaitu “Hasyiyah Az-Zayyadi”, “Hasyiyah Al-Jamal”, “Hasyiyah Al-Bujairimi”, “Hasyiyah Al-Halabi”, dan “Hasyiyah Asy-Syaubari”. Dan seterusnya. Silakan baca “Al-Madkhal Ila Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’I”, karya Dr. Akram Yusuf ‘Umar Al-Qawasimi (halaman 491-492 dan 513-515), dan “Mukhtashar Al-Fawaid Al-Makkiyyah”, karya Al-‘Allamah ‘Alawi bin Ahmad As-Saqqaf (halaman 76-78).

Ini baru satu contoh saja, rangkaian hubungan antar kitab dalam madzhab Syafi’i, yang berporos pada “Minhaj Ath-Thalibin”. Dan masih banyak rangkaian lain dalam lingkungan madzhab Syafi’i. Dan hal ini juga berlaku dalam madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Kalau kitab-kitab fiqih di luar madzhab yang empat, adakah yang diberi khidmah seperti ini?

3. Jika tafaqquh dengan metode tarjih, pertanyaannya, pakai tarjih syaikh siapa? Bukankah tarjih dan pendapat yang rajih itu, nisbi sifatnya, mengikuti siapa yang merajihkan.

Yang diperlukan kalangan pelajar pemula, adalah memahami poin-poin penting dalam setiap bahasan fiqih, untuk diamalkan, dan dijadikan modal untuk naik ke tingkat berikutnya. Dan agar tidak terjadi kebingungan saat awal belajar, poin-poin tersebut perlu merujuk ke standar yang baku, yang diterima di manapun. Dan itu ada pada madzhab fiqih. Kalau anda bertafaqquh dalam madzhab Syafi’i misalnya, di manapun anda belajar, di Indonesia, di Yaman, di Mesir, di Ahsa (Saudi Arabia), di Syam, dan lain-lain, anda akan mendapatkan penjelasan bahwa dalam shalat itu ada rukun, sunnah ab’adh dan sunnah haiat, dengan poin-poin penjelasan yang hampir sepenuhnya sama.

Bandingkan jika anda bertafaqquh di luar madzhab. Sejak awal sudah kesulitan menentukan, kitab karya syaikh siapa yang dijadikan rujukan, atau bisa jadi cuma hasil comot sana-sini oleh sang pengajar. Jangankan beda negeri, bahkan satu kota, beda masjid dan tempat kajian saja, penjelasan ustadz A dengan ustadz B bisa jauh berbeda. Ini sangat membingungkan kalangan awam, katanya sama-sama ikut Al-Qur’an dan As-Sunnah, kok penjelasan tiap ustadz berbeda-beda? Dan fakta ini benar-benar terjadi.

Wallahu a’lam bish shawab.

Leave a Reply