Oleh: Muhammad Abduh Negara
Kembali kita bahas soal fiqih madzhabi dan komunitas salafi.
Perlu dicatat di awal, saya pribadi menghormati pilihan setiap individu, untuk memilih madzhab, afiliasi atau komunitas tertentu, termasuk yang memilih berpindah madzhab dan afiliasi. Setiap orang merdeka dalam mengambil keputusan. Selama pilihannya tersebut, merupakan konsekuensi dari proses belajar dan perkembangan keilmuan yang bersangkutan.
Ketika ada yang membagikan tulisan saya sebelumnya di salah satu grup WA “Pencinta Ilmu Syar’i”, ada yang menanggapi bahwa mengikuti madzhab fiqih tertentu, tidak mengharuskan berpegang pada madzhab aqidah tertentu. Komentar tersebut saya timpali, bahwa hal itu memang betul. Bahkan sekian tahun lalu saya pernah menuliskannya. Mengikuti madzhab fiqih Syafi’i, tidak mengharuskan seseorang mengikuti madzhab aqidah Asy’ari. Bahkan dalam lintasan sejarah, beberapa tokoh Syafi’iyyah mengikuti aqidah mu’tazilah. Sebagian lagi memilih madzhab aqidah yang kadang disebut dengan “madzhab Ahlul Hadits”.
Itu betul. Namun yang perlu dicatat, khususnya pada madzhab Syafi’i, mayoritas sekali ulama mutaakhkhirin Syafi’iyyah itu menganut madzhab aqidah Asy’ariyyah, meski kadar bergelutnya mereka dalam bahasan kalam bertingkat-tingkat. Ada yang sangat mendalami, ada juga yang tidak. Dan tidak diragukan lagi, pandangan Asy’ariyyah ini begitu mempengaruhi ilmu ushul fiqih, dan hal ini tidak samar bagi siapapun yang pernah membaca turats ushul fiqih. Hal demikian pun terjadi dalam ilmu fiqih. Pertama, fiqih itu lahir dari ushul fiqih; Kedua, hal itu bisa ditemukan dalam sekian furu’ fiqih yang mereka kemukakan.
Nah, kecenderungan sebagian ustadz muda dan pelajar muda salafi Indonesia, yang mulai mempelajari fiqih Syafi’i, tampak sekali ingin iltizam sepenuhnya dengan madzhab ini, dalam ushul dan furu’-nya, dalam ‘azimah dan rukhshah-nya, termasuk berbagai konsep yang berkembang dalam lingkungan madzhab, semisal soal talfiq, tidak boleh keluar dari empat madzhab, mengikuti mu’tamad madzhab, dan lain sebagainya. Pada kondisi ini, saya katakan, jika mereka konsisten dengan sikap mereka, maka tampaknya mereka akan kesulitan untuk setia dengan pakem paham salafi (a.k.a. taimi-wahhabi).
Saya contohkan salah satu yang lumayan ekstrem perbedaannya, soal istighatsah kepada selain Allah. Sekian pembesar Syafi’iyyah mutaakhkhirin menyatakan, hukumnya boleh saja, selama tetap meyakini bahwa yang memberi ta’tsir dan mengabulkan permohonannya adalah Allah ta’ala. Sedangkan bagi salafi-wahhabi (varian apapun, selama mengikuti taqrirat-nya Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab), hal itu merupakan syirik akbar, yang mengeluarkan pelakunya dari millah Islam. Mereka hanya berselisih soal ada uzur jahil atau tidak.
Nah, bagi para pembelajar tadi, mau ikut yang mana? Setia dengan Syafi’iyyah mutaakhkhirin, atau setia dengan taqrirat-nya MBAW?
Kalau ada yang bilang, “Saya ikutnya madzhab Syafi’i, bukan Syafi’iyyah mutaakhkhirin”, maka selesai urusan. Namun persoalannya adalah, berarti dia “tidak murni menjadi Syafi’iyyah”. Karena menjadi Syafi’iyyah di masa sekarang, juga perlu mengikuti tafri’, taqrir, takhrij, fatwa, pandangan Syafi’iyyah mutaakhkhirin. Bukankah sudah maklum, bahwa yang biasanya dijadikan rujukan dalam madzhab Syafi’i di era sekarang, adalah kitab-kitab syarah dan hasyiyah generasinya Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari, dan generasi-generasi setelahnya.
Jadi?
Ya, kalau memang ingin beralih sepenuhnya menjadi Asy’ariyyah, seperti ustadz muda dari Negeri Jiran, yang saya sebutkan pada tulisan sebelumnya, itu adalah pilihannya. Atau mau ‘mengoplos’ fiqih Syafi’i dan aqidah salafi-taimi-wahhabi, dengan memilah-milah pendapat yang ingin diambil, silakan juga.
Yang rumit adalah, kalau dia ingin bermadzhab sepenuhnya seperti bermadzhab-nya para mutamadzhibin era mutaakhkhirin (abad 10 H ke atas), khususnya madzhab Syafi’iyyah, sekaligus tetap mengikuti pakem komunitas salafi yang dia ikuti. Ini yang sulit dibayangkan.
Karena itu, bagi yang ingin tetap berpegang pada pakem pemahaman komunitas salafi, saya sarankan “bermadzhab fiqihnya” sekadarnya saja. Sekadar untuk tafaqquh, belajar secara runtut, agar memiliki malakah fiqih yang memadai. Sedangkan dalam pemahaman, amal dan fatwa, dicampur saja dengan pakem komunitas salafi yang dia ikuti. Tidak perlu bernarasi seakan “paling Syafi’iyyah” dan “paling bermadzhab”. Toh, “pemilik madzhab Syafi’i” sebenarnya di negeri ini, yaitu kalangan nahdhiyin-tradisionalis, malah lebih luwes dalam bermadzhab. Hehe…
Tapi kembali lagi, pilihan apapun, anda merdeka memilihnya. Yang penting, sadari saja segala konsekuensinya.
Leave a Reply