Oleh: Muhammad Abduh Negara
Kondisi dharurat dan hajat pada dasarnya berbeda. Orang yang berada pada kondisi dharurat, ia bisa celaka bahkan jatuh pada kematian. Dan demi menyelamatkan dirinya, ia boleh melakukan hal yang haram. Sedangkan hajat, orang yang berada pada kondisi ini, tidak berpotensi mati atau cacat tubuh misalnya, tapi ia akan jatuh pada kesulitan yang berat. Kondisi hajat pada umumnya tidak membuatnya boleh melakukan hal yang haram.
Namun pada kondisi tertentu, hajat bisa menempati posisi dharurat, dalam arti ia bisa membuat hal yang seharusnya dilarang menjadi boleh. Para ahli fiqih menyatakan, “الحاجة تنزل منزلة الضرورة عامة كانت أو خاصة”, kondisi hajat bisa menempati posisi dharurat, baik hajat itu bersifat umum maupun khusus. Umum dalam arti ia memang diperlukan oleh seluruh orang di dunia atau mayoritas mereka. Dan khusus dalam arti ia diperlukan oleh penduduk negeri tertentu atau oleh orang-orang dalam profesi tertentu, dan semisalnya. Khusus di sini bukan berarti hajat tersebut hanya diperlukan oleh individu tertentu, karena hajat individu tidak bisa menempati posisi dharurat.
Hajat dan dharurat, meski pada kondisi tertentu sama-sama membolehkan hal yang seharusnya dilarang, namun keduanya memiliki perbedaan, yaitu:
1. Dharurat membolehkan hal yang haram, baik kondisi dharurat tersebut terjadi pada orang banyak atau hanya pada individu tertentu saja. Sedangkan hajat hanya membolehkan hal yang seharusnya dilarang, jika itu mengenai orang banyak.
2. Hukum yang ditetapkan dalam kondisi dharurat, berlakunya hanya sementara pada kondisi dharurat tersebut, jika kondisinya berakhir, maka kebolehannya juga berakhir. Sedangkan hukum yang ditetapkan karena hajat, ia berlaku selamanya dan untuk semua orang, baik orang itu punya hajat pada hukum itu ataupun tidak.
3. Dharurat membolehkan hal yang diharamkan oleh nash, semisal memakan bangkai, minum khamr, dan semisalnya.
Sedangkan hajat, tidak. Ia hanya membolehkan sesuatu yang harusnya dilarang, jika kita menggunakan kaidah umum atau qiyas. Jadi, hajat membolehkan sesuatu yang diharamkan oleh kaidah umum dan qiyas.
Contoh:
1. Kebolehan akad ijarah (sewa-menyewa barang dan jasa), karena ia diperlukan oleh orang banyak, ‘ala khilafil qiyas. Jika mengikuti qiyas, ia harusnya tidak boleh, karena ia akad mu’awadhah untuk manfaat yang belum ada saat transaksi.
2. Kebolehan akad salam (jual beli pesanan), juga karena diperlukan oleh orang banyak. Padahal, barang yang diperjualbelikan belum ada saat akad.
3. Kebolehan ji’alah (sayembara), padahal ia akad untuk sesuatu yang belum jelas, apakah bisa didapatkan atau tidak, namun ia dibolehkan karena ada hajat terhadapnya.
4. Kebolehan hawalah (pemindahan utang), padahal ia jual beli utang dengan utang, yang berdasarkan qiyas hukumnya tidak boleh.
5. Menambal perabotan dengan tambalan perak, untuk memperbaiki kerusakan pada perabotan tersebut. Berdasarkan qiyas, harusnya ia haram, karena termasuk menggunakan perak untuk perabotan, yang dilarang Syariat. Namun karena ada hajat, ia dibolehkan.
6. Kebolehan memakai pakaian sutra bagi laki-laki, untuk pengobatan penyakit gatal-gatal pada kulit. Padahal, hukum asalnya haram.
Wallahu a’lam.
Rujukan: Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqatuha Fi Al-Madzhab Asy-Syafi’i, karya Dr. Muhammad Az-Zuhaili, Juz 2, Halaman 75-82, Penerbit Dar Al-Bayan, Damaskus.
Leave a Reply