Oleh: Muhammad Abduh Negara
Saya mantan HT, belasan tahun saya ngaji di HT. Secara struktural, saya terlibat lama dalam struktur dan kepengurusan HT di daerah saya. Saya juga secara pribadi pernah mengakadi puluhan kader menjadi anggota HT.
Dan status saya ‘mantan’. Saya keluar/dikeluarkan dari HT, beberapa masa silam. Kalau anda lihat seringnya kader HT dan mantan HT berdebat keras dan panas di media sosial, tentu anda tak akan menganggap saya sedang bermanis muka atau membela HT dengan tulisan ini. Tulisan ini, secara tulus dan proporsional hanya ingin meluruskan kesalahpahaman banyak orang tentang HT dan HTI.
Ada dua hal, yang ingin saya bahas secara singkat:
- Tuduhan bahwa HT/HTI itu haus kekuasaan, dan menunggangi agama demi meraih kekuasaan.
- Tuduhan bahwa anggota HT/HTI itu (secara mutlak) berdakwah tanpa ilmu, dan tak ada kajian ilmu di majlis-majlis mereka.
Terkait yang pertama, tuduhan ini tidak tepat. An-Nabhani sebagai pendiri HT, sebagaimana tokoh pemikir lain yang lahir di abad ke-19 dan 20 M, berjuang dan berpikir keras, bagaimana membangkitkan kembali umat Islam dari keterpurukan. Masing- masing tokoh punya pikiran berbeda. Sebagiannya hanya menuangkannya di mimbar dan buku. Sebagian lagi membuat gerakan untuk mewujudkan pemikiran itu.
Taqiyuddin An-Nabhani mengumpulkan keduanya. Beliau penulis produktif. Puluhan karya tulis dihasilkan oleh beliau. Dan, beliau juga membentuk gerakan, yaitu Hizbut Tahrir untuk mewujudkan pemikiran beliau.
Secara sederhana (aslinya lumayan rumit), beliau menyatakan kemunduran umat Islam disebabkan terputusnya kehidupan Islam, dan untuk membangkitkan umat Islam, kehidupan Islam harus dilanjutkan kembali. Dan metode satu-satunya untuk melanjutkan kehidupan Islam adalah dengan menegakkan Khilafah. Khilafah dalam arti negara, kekuasaan politik. Dengan Khilafah-lah, menurut beliau, syariah Islam bisa diterapkan, dakwah Islam bisa disebarkan, dan jihad bisa ditegakkan.
Karena itu, dakwah HT selalu dan selalu bicara Khilafah. Dan mereka terlihat ingin sekali Khilafah sesegeranya tegak, karena menurut mereka inilah langkah satu-satunya untuk menyelamatkan umat ini dari keterpurukan. Bukan karena mereka haus kekuasaan.
Di sisi yang lain, berdasarkan pengalaman pribadi saya. Tidak ada sedikit pun pertemuan para pimpinan HTI, para pengurus dan kader-kadernya, yang menunjukkan mereka haus kekuasaan, bicara bagi-bagi kue kekuasaan nantinya, dan semisalnya. Yang mereka bicarakan adalah dakwah dan dakwah. Bagaimana memperbanyak kader dan memenangkan opini Khilafah di tengah umat.
Mereka pun orang-orang yang rela hidup miskin. Mereka anti riba, anti utang ke bank, dan rela mengontrak rumah seumur hidup daripada mengambil cicilan KPR. Banyak lagi cerita tentang semangat mereka terikat dengan Syariat Islam, sesuai pemahaman yang mereka pegang.
Sebenarnya, bagi orang yang mengkaji banyak pendapat ulama dan pemikiran para tokoh, gagasan dan pemikiran HT, banyak yang bisa dikritik dan diperdebatkan secara ilmiah. Hal yang jauh lebih sehat daripada persekusi dan tuduhan palsu. Sayangnya sebagian orang sepertinya malas mikir, dan membuat tudingan “haus kekuasaan” jauh lebih mudah dan tidak perlu mikir.
Tuduhan kedua, tentang tidak adanya majlis-majlis ilmu di kalangan mereka. Ini tuduhan yang salah, dan menunjukkan penuduhnya tak pernah melakukan penelitian secara serius, atau belum pernah masuk betul-betul ke lingkungan HT.
Kader HT (calon anggota dan anggota) diwajibkan sepekan sekali mengkaji kitab-kitab resmi HT, yang kebanyakan ditulis oleh An- Nabhani, secara runut. Kitab-kitab tersebut bertema pemikiran Islam, politik pemerintahan, politik luar negeri, pergerakan Islam, muamalah dan ekonomi Islam, fiqih munakahat, sebagian ibadah, aqidah, ilmu Hadits, dan ushul fiqih, dll. Bahkan kajiannya menggunakan kitab Arab.
Kader-kader HT senior tentu sudah kenyang kajian fiqih muamalah dan ekonomi Islam, sebagaimana mereka juga kenyang kajian pemikiran Islam.
Titik lemahnya, kitab-kitab HT ini boleh dikatakan kitab-kitab pengayaan, kajian-kajiannya cukup berat dan perlu dasar ilmu yang memadai untuk memahaminya. Sehingga tak semua kader bisa memahaminya dengan baik. Yang punya dasar belajar ilmu keislaman sebelumnya, atau punya kesungguhan tinggi dalam belajar, akan memahami dengan baik. Sebaliknya, yang tak punya dasar dan tak punya kesungguhan, yang senangnya hanya training motivasi, akan banyak ketinggalan.
Titik lemah lain, kajian di kitab-kitab tersebut adalah hasil tarjih HT, dan prinsipnya untuk diamalkan. Tidak ada kajian perbandingan madzhab atau perbandingan pendapat yang memadai. Pembahasan fiqih khilaf secara proporsional juga kurang diperhatikan. Karena itu, banyak kadernya yang tak paham bagaimana menyikapi perkara khilafiyyah ijtihadiyyah dengan baik.
Jika ditemukan ada kader HT yang sangat awam agama, maka hal itu juga ditemukan di kelompok-kelompok lain. Di NU ada yang seperti itu, di Muhammadiyah, Tarbiyah, Salafi, dan lain- lain juga banyak. Ini penyakit bersama. Bisa jadi karena baru ngaji, atau saat ngaji lebih banyak tertidur daripada memahami materi kajian.
Sebagai sebuah kelompok yang dibuat oleh manusia dan diisi oleh manusia, HT punya potensi memiliki banyak kekeliruan dan kelemahan. Pihak lain yang tak sepakat harusnya fokus berdiskusi atau berdebat pada sisi-sisi itu. Bukan malah sengaja atau tidak sengaja membuat tuduhan-tuduhan yang tidak benar.
Leave a Reply