Oleh: Muhammad Abduh Negara
Salah satu akad yang populer dipraktikkan oleh pelaku ekonomi syariah dewasa ini, adalah akad ijarah muntahiyah bit tamlik (akad ijarah yang diakhiri dengan menjadikan barang yang disewa sebagai hak milik).
Gambarannya: Sebuah lembaga keuangan syariah, menyewakan mobil kepada fulan selama 4 tahun, dengan biaya sewa Rp 5.000.000,- per bulan, dengan perjanjian mengikat, di akhir masa sewa, mobil tersebut akan menjadi milik si fulan.
Hal yang mendorong terjadinya akad ini adalah, lembaga keuangan syariah mendapatkan jaminan atas hak kepemilikan mobil tersebut selama masa sewa, sehingga jika pembayaran sewa mobil tersebut macet, lembaga keuangan syariah bisa mengambil mobil tersebut kembali, karena itu masih menjadi hak miliknya.
Menurut pendapat yang mu’tamad di kalangan Syafi’iyyah, akad seperti ini ada dua keadaan:
1. Jika syarat (di akhir sewa, mobil tersebut menjadi milik penyewa) tidak disebutkan dalam akad, akad ijarahnya (sewa menyewa) sah, namun janji untuk menyerahkan kepemilikannya untuk si fulan, yang disebutkan di luar akad, tidak wajib dipenuhi.
Dalam At-Taqrirat As-Sadidah disebutkan: “tidak mengikat qadha’an, meskipun diperintahkan untuk memenuhinya diyanatan, karena memenuhi janji adalah kebaikan.” Maksudnya adalah, janji tersebut tidak wajib dipenuhi jika terjadi sengketa di peradilan atas hal tersebut antara dua belah pihak, namun orang yang berjanji harusnya memenuhinya jika dikaitkan tanggung jawabnya di hadapan Allah ta’ala.
2. Jika syarat tersebut disebutkan di dalam akad, maka akad tersebut batil karena syaratnya yang fasid, sehingga ijarahnya tidak sah.
Namun sebagian ulama mutaakhkhirin berpendapat, akad yang menyebutkan syarat janji penyerahan kepemilikan di akhir masa sewa itu sah, meskipun disebutkan langsung di dalam akad, dan janji tersebut pun bersifat mengikat dan tidak boleh dilanggar. Hal ini juga merupakan putusan dari Majma’ Fiqih Islami No. 110 (4/12).
Di antara argumentasi mereka, asal dari muamalat dan syarat-syarat itu halal dan sah, berdasarkan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shulh itu boleh di antara sesama muslim, kecuali shulh yang menghalalkan perkara haram atau mengharamkan perkara halal. Dan orang-orang Islam terikat dengan syarat-syarat yang berlaku di antara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan perkara halal atau menghalalkan perkara haram.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Sedangkan janji penyerahan kepemilikan yang bersifat mengikat, menurut mereka berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang menyebutkan wajibnya memenuhi janji.
Wallahu a’lam.
Rujukan: At-Taqrirat As-Sadidah, Qism Al-Buyu’ Wa Al-Faraidh, karya Syaikh Hasan bin Ahmad Al-Kaf, Halaman 145-146, Penerbit Dar Al-Mirats An-Nabawi, Hadramaut, Yaman.
Leave a Reply