Oleh: Muhammad Abduh Negara
Al-‘Allamah Ahmad Bik Al-Husaini, dalam kitab “Tuhfah Ar-Ra’y As-Sadid Fi Al-Ijtihad Wa At-Taqlid”, menjelaskan tentang hukum pindah madzhab, dari satu madzhab ke madzhab yang lain. Beliau merincikan keadaan orang yang pindah madzhab ini, dari sisi tujuan dan keadaan orang yang pindah madzhab itu sendiri.
Pertama, jika tujuannya adalah dunia, seperti untuk meraih jabatan, harta atau dekat dengan penguasa. Jika yang melakukan ini bukan seorang yang faqih terhadap madzhabnya, ia bermadzhab hanya sekadar nama, maka menurut beliau hukumnya tidak sampai haram, karena faktanya ia sebenarnya awam, dan awam pada dasarnya tak punya madzhab.
Adapun jika yang melakukannya seorang yang faqih terhadap madzhabnya, dan ia ingin pindah madzhab demi dunia yang ingin diraihnya, menurut beliau ini haram, karena ia mempermainkan hukum Syariah demi meraih dunia.
Keadaan kedua, pindah madzhab karena tujuan agama. Ada dua contoh untuk ini. Satu, seorang yang faqih terhadap madzhabnya, dan setelah melakukan penelitian yang dalam, ia menganggap madzhab lain lebih kuat dalil dan istidlalnya, maka pada kondisi ini, bisa jadi ia wajib pindah madzhab, atau minimal boleh pindah madzhab sebagaimana disampaikan Ar-Rafi’i.
Dua, orang yang telah lama belajar fiqih madzhabnya, namun ia tidak mampu memahami madzhabnya dengan baik, dan ia mendapatkan madzhab lain bisa dipelajari dan dipahami dengan lebih mudah. Pada kondisi ini, ia wajib pindah madzhab. Karena tujuan madzhab adalah untuk tafaqquh (memperdalam agama), dan jika ia mampu bertafaqquh pada madzhab lain, itu jelas lebih baik daripada bertahan pada madzhabnya sekarang yang tak mampu ia pahami dengan baik.
Keadaan ketiga, orang yang pindah madzhab tanpa tujuan, tidak tujuan dunia, tidak juga agama. Pada kondisi ini, orang awam boleh pindah madzhab. Adapun orang yang faqih dalam madzhabnya, makruh melakukannya, karena ia meninggalkan hal yang lebih utama, yaitu mengamalkan madzhabnya yang telah ia pahami dengan baik, untuk menyibukkan diri dengan mempelajari madzhab lain, sehingga meninggalkan amal yang dilandasi ilmu, untuk belajar madzhab baru yang membutuhkan waktu lagi bertahun-tahun.
Itulah perincian keadaan orang yang pindah madzhab, berdasarkan penjelasan Ahmad Bik.
Ada hal menarik yang beliau sebutkan, saat membahas tema ini. Beliau menyebutkan pernyataan seorang mufti madzhab Maliki di masa beliau, yang mengatakan bahwa orang yang pindah dari madzhabnya telah melakukan hal yang sangat buruk, dan sang mufti menyebutkannya secara mutlak, tanpa menjelaskan batasan apapun. Menurut beliau, yang dikatakan oleh mufti Malikiyyah itulah yang sangat buruk, karena imam madzhabnya sendiri, yaitu Ibnu Al-Hajib, tidak pernah mengatakan hal semacam itu.
Beliau juga menyebutkan pernyataan seorang pengikut Hanafi, yang mengatakan boleh bagi pengikut madzhab selain Hanafi pindah ke madzhab Hanafi, namun pengikut Hanafi tidak boleh pindah menjadi pengikut madzhab Syafi’i atau madzhab lainnya. Beliau menganggap pernyataan ini merupakan perkataan yang tidak dilandasi oleh dalil sama sekali, dan ia hanya lahir dari fanatisme buta terhadap madzhabnya. Karena semua imam mujtahid itu sama kedudukannya di hadapan kebenaran, dan tidak ada satu pun Hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengunggulkan madzhab Abu Hanifah dari madzhab imam lainnya.
Pernyataan yang sangat bagus. Sikap oknum pengikut madzhab Maliki dan Hanafi, yang melarang pengikut madzhab mereka pindah ke madzhab lain secara mutlak, tidak memiliki landasan ilmiah sama sekali, kecuali hanya fanatisme buta saja. Sikap fanatisme buta, yang melahirkan keyakinan bahwa kebenaran hanya ada pada madzhab dan kelompoknya saja, tak mungkin pendapat madzhab atau kelompoknya keliru, dan sebaliknya, madzhab atau kelompok mereka, pasti keliru, bahkan bisa jadi menyimpang.
Yang benar, kebenaran kadang bersama madzhab atau kelompok fulan, dan pada kesempatan lain, bersama madzhab atau kelompok ‘allan.
Wallahu a’lam bish shawab.
Leave a Reply