Oleh: Muhammad Abduh Negara
Ada seorang ustadz alumni Mesir yang menulis artikel berjudul “Mengapa Tak Ada Hukum Rajam di Mayoritas Negara Islam”. Ustadz tersebut menjelaskan panjang lebar alasan tak diterapkannya hukum rajam tersebut, namun tulisan tersebut tetap tidak mampu membedakan antara hukum rajam sebagai sebuah dustur (aturan undang-undang) dan hukum rajam dalam konteks tathbiq (penerapannya di peradilan).
Yang sang ustadz jelaskan panjang lebar dalam tulisan tersebut, soal tathbiq. Dan itu benar. Memang sebisa mungkin, had zina itu tidak diberlakukan selama masih ada syubhat. Karena itu, sudah lama sekali tidak ada yang dirajam karena melakukan perzinaan, karena pembuktiannya di peradilan yang sulit.
Tapi hukum Allah-nya sebagai dustur, harus tetap berlaku. Kejahatan zina harus tetap dianggap kejahatan, dan hukumannya adalah rajam bagi pezina muhshan, dan jilid 100 kali bagi ghayru muhshan.
Nah, fakta di Indonesia (untuk negara lain, perlu cek fakta lagi, karena sangat mungkin tiap negara kasusnya berbeda), yang dihilangkan itu dusturnya. Zina, selama bukan selingkuh atau pemerkosaan, itu tidak dianggap kejahatan atau kriminal dalam hukum positif. Dan kalaupun dihukum, hanya hukuman moral atau adat, bukan hukum pidana. Ini sudah urusan dustur, bukan sekadar tathbiq. Ini tabdil hukm maa anzalallah, yang haram bahkan kufur. Salah satu ulama yang menyatakan, hukum positif di banyak negeri Islam itu sudah mengganti hukum Allah dan merupakan kekufuran, adalah Syaikh Ahmad Syakir, ulama Hadits dari Al-Azhar, yang hidup di abad ke-20 M.
Oh ya, supaya tulisan ini tidak dipelintir, takfir terhadap satu konsep dengan takfir terhadap pelaku, itu dua hal yang berbeda, dan ada rinciannya, sebagaimana dijelaskan para ulama sejak dulu kala.
Leave a Reply