Oleh: Muhammad Abduh Negara
Salah satu sebab kepemilikan yang sah menurut Syariah adalah, menghidupkan tanah yang mati (ihyaul mawat) dan mengelolanya menjadi milik pribadi, baik untuk dibangun rumah tempat tinggal, atau menjadi lahan pertanian, dan semisalnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ
Artinya: “Siapa saja yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Malik, Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Beliau juga bersabda:
مَنْ أَعْمَرَ أَرْضًا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ فَهُوَ أَحَقُّ
Artinya: “Siapa saja yang menghidupkan tanah, yang tidak dimiliki oleh siapapun, maka dia yang paling berhak atas tanah tersebut.” (HR. Al-Bukhari)
Namun, tidak sembarang tanah boleh dimiliki dengan cara ihyaul mawat. Ada dua ketentuan terkait tanah tersebut yang harus terpenuhi, yaitu:
1. Tanah tersebut tidak pernah dihidupkan atau dikelola di masa Islam. Baik ia memang tidak pernah dihidupkan sama sekali, atau ia pernah dihidupkan, tapi di masa jahiliyah sebelum Islam, dan tidak pernah dihidupkan lagi oleh seorang pun sejak diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kalau tidak diketahui, apakah suatu tanah, pernah dihidupkan di masa Islam, atau tidak pernah dihidupkan kecuali di masa jahiliyah, ulama berbeda pendapat. Ar-Ramli dan ayahnya, menyatakan tanah seperti itu tidak bisa dilakukan ihyaul mawat. Sedangkan Ibnu Hajar Al-Haitami menyatakan, bisa dilakukan ihyaul mawat.
2. Tanah tersebut tidak menjadi tanah penopang dari lahan yang telah dikelola atau dimiliki oleh orang lain. Contohnya, tanah yang menjadi jalan yang dilewati oleh penghuni rumah, atau tempat parkir hewan tunggangan, dan lain-lain.
Tanah semacam ini, yang disebut dengan “harim”, tidak boleh dimiliki dengan ihyaul mawat. Hal itu karena, pemilik lahan lah yang memiliki hak guna terhadap harim (tanah penopang) tersebut, sehingga seakan seperti miliknya.
Dari ketentuan di atas, bisa diketahui, tanah yang pernah dimiliki atau dihidupkan oleh seseorang di masa Islam, kemudian pemiliknya meninggal dunia, tidak seorang pun boleh memilikinya dengan cara ihyaul mawat, dan tanah tersebut tidak bisa disebut dengan tanah mati.
Jika ahli warisnya ada, maka tanah tersebut menjadi milik ahli waris. Jika tidak ditemukan atau tidak diketahui ahli warisnya, maka tanah itu dianggap sebagai harta yang hilang, dan wajib dijaga untuk dikembalikan ke pemiliknya nanti, jika masih ada harapan diketahui pemiliknya.
Jika tidak ada harapan, maka tanah itu diserahkan ke baitul mal, dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan kaum muslimin.
Selain itu, jika tanah mati tersebut, ditahan oleh penguasa, maka tanah tersebut tidak bisa dimiliki dengan cara ihyaul mawat, kecuali mendapatkan izin dari penguasa.
Wallahu a’lam.
Rujukan: At-Taqrirat As-Sadidah, Qism Al-Buyu’ Wa Al-Faraidh, karya Syaikh Hasan bin Ahmad Al-Kaf, Halaman 151-153, Penerbit Dar Al-Mirats An-Nabawi, Hadramaut, Yaman.
Catatan: Takhrij Hadits berbeda dengan yang dimuat di kitab rujukan.
Leave a Reply