Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fiqih Syafi'i

Hukum Seputar Sutrah Shalat

Oleh: Muhammad Abduh Negara

1. Salah satu hal yang disunnahkan saat shalat adalah menghadap ke arah sutrah. Sutrah adalah pembatas yang ada atau diletakkan di depan orang yang shalat, untuk mencegah orang lain lewat di depannya saat dia shalat.

2. Sutrah ada empat tingkatan secara berurutan, yang jika bisa mendapatkan sutrah di urutan pertama, maka urutan berikutnya tidak bisa dijadikan sebagai sutrah. Berikut urutannya:

(a) Tembok, tiang dan hal-hal semisalnya, yang tetap di tempat tersebut, tidak berpindah-pindah. Tinggi minimalnya 2/3 hasta, dan jaraknya dari orang yang shalat tidak lebih dari tiga hasta. Menurut Ibnu Hajar, jarak tersebut diukur dari tumit. Sedangkan menurut Ar-Ramli, dari ujung jari.

(b) Menegakkan tongkat, atau menghimpun tanah atau batu di depannya.

(c) Membentangkan sajadah.

(d) Membuat garis memanjang, bukan melebar.

3. Yang utama, sutrah diletakkan di sebelah kanan atau kiri orang yang shalat, tidak tepat di depannya.

4. Jika sutrah yang diletakkan itu dianggap layak (mu’tabar) sebagai sutrah, maka haram orang melewati sutrah tersebut, dan mandub bagi yang shalat untuk mencegah orang yang mencoba melewatinya.

Namun ada qaul dari Al-Ghazali, sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’, bahwa hukum menerobos sutrah ini makruh, bukan haram. Menurut penulis At-Taqrirat As-Sadidah, ini merupakan kemudahan dan kelapangan bagi banyak orang.

5. Jika tidak ada sutrah yang dianggap layak (mu’tabar), maka lewat di depan orang shalat hanya makruh hukumnya, tidak haram. Dan tidak boleh bagi yang shalat, mencegah orang yang lewat di depannya.

Ibn Qasim menyatakan, larangan mencegah ini jika berpotensi menyakiti orang yang lewat tersebut. Jika upaya mencegahnya ringan dan tidak dipermasalahkan oleh yang lewat, maka tidak haram.

6. Setiap shaf shalat, sutrahnya adalah shaf di depannya. Sedangkan shaf pertama, sutrahnya adalah sutrah sang imam.

7. Boleh melewati orang yang shalat, meski ada sutrah, pada empat keadaan, yaitu:

(a) Di Tanah Haram Makkah, khusus di tempat tawaf.

(b) Jika orang yang shalat tersebut melakukan taqshir (kelalaian), misal ia shalat di tengah jalan.

(c) Jika ditemukan ada celah dalam shaf, maka boleh baginya menerobos untuk mengisi celah tersebut.

(d) Jika ia dalam kondisi terdesak, misalnya ia ingin buang hajat di tengah-tengah shalat.

Wallahu a’lam.

Rujukan: At-Taqrirat As-Sadidah, Qism Al-‘Ibadat, karya Syaikh Hasan bin Ahmad Al-Kaf, Halaman 250-251, Penerbit Dar Al-‘Ulum Al-Islamiyyah, Surabaya, Indonesia.

Leave a Reply