Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Qawa'id Fiqhiyyah

Ibadah Tidak Terwujud Tanpa Niat, Sedangkan Muamalah Tetap Terwujud Meski Tanpa Niat

Zero waste concept. Vegetables in textile bag. No plastic. Bright Background. Clever consuming, healthy planet concept.

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Ibadah tidak terwujud tanpa niat, berbeda dengan muamalah, ia terwujud meski tanpa niat. Hal ini karena yang diperhatikan dalam akad muamalah adalah kondisi riil dari akad tersebut, sedangkan dalam ibadah yang diperhatikan dua, kondisi riil dan zhann mukallaf, العبرة في العقود بما في نفس الأمر بخلاف العبادات فبما في نفس الأمر وظن المكلف.

Contoh dalam muamalah:
Seseorang melakukan tasharruf (tindakan) atas harta milik orang lain, dengan menjualnya atau lainnya, dan ia mengira (zhann) bahwa ia tak memiliki hak atas tasharruf tersebut, namun kemudian terbukti saat ia melakukan tasharruf tersebut, si pemilik harta telah meninggal dunia, dan ia adalah ahli warisnya yang sah, maka tasharrufnya dianggap sah. Hal ini karena yang dilihat adalah kondisi riil saat terjadi transaksi muamalah tersebut, bukan dari zhann si pelaku transaksi.

Contoh dalam ibadah:
Seseorang berwudhu dengan menggunakan air, yang ia duga (zhann) air tersebut bukan air muthlaq, wudhunya tidak sah, meski kemudian terbukti air tersebut sebenarnya air muthlaq. Hal ini karena dalam ibadah, yang diperhatikan bukan hanya kondisi riil, tapi juga zhann dari orang yang melakukan ibadah tersebut.

Catatan Tambahan:
1. Ketentuan wajibnya niat untuk terwujudnya ibadah adalah pada setiap ibadah fi’liyyah mahdhah. Karena itu, ibadah qauliyyah seperti adzan dan khutbah jum’at tak wajib niat untuk terwujudnya. Demikian juga ibadah ghairu mahdhah, seperti ‘iddah dan menutup aurat, juga tak wajib niat.

2. Muamalah tidak perlu niat untuk terwujudnya (in’iqad) muamalah tersebut. Namun ia tetap perlu niat untuk membedakan (tamyiz) tujuan satu muamalah dengan muamalah lainnya. Misal, seseorang yang menjadi wakil bagi orang lain, saat ia membeli satu barang, ada kemungkinan barang itu untuk yang mewakilkan padanya, mungkin juga itu untuk dirinya sendiri. Pada kondisi ini, perlu niat untuk membedakannya.

Wallahu a’lam.

Rujukan: Al-Istidlal Bi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah ‘Inda Asy-Syafi’iyyah, karya Dr. ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah As-Saqqaf, Halaman 205-207, Penerbit Dar Adh-Dhiya, Kuwait.

Leave a Reply