Oleh: Muhammad Abduh Negara
Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari menyatakan, menurut pendapat yang ashah (paling shahih), ijma’ (kesepakatan para ulama mujtahid) harus dilandasi oleh mustanad (dalil), karena ijma’ itu adalah kesepakatan para ulama mujtahid, dan tidak ada ijtihad tanpa landasan dalil.
Lalu, apakah dalil yang menjadi landasan ijma’ itu hanya nash, atau boleh qiyas? Menurut pendapat yang ashah, ijma’ boleh dilandasi oleh qiyas.
Ada pendapat lain yang menyatakan, bahwa ijma’ boleh dilandasi qiyas namun hal itu tidak pernah terjadi atau tidak ada faktanya. Alasan pendapat ini, karena hukum yang dihasilkan oleh qiyas itu kebanyakannya zhanni (membuka ruang terjadi perbedaan pendapat), dan boleh menyelisihi hukum hasil qiyas jika ditemukan dalil atau qiyas lain yang lebih kuat. Konsekuensinya, ijma’ yang dilandasi oleh qiyas itu pun juga boleh diselisihi, dan itu bertentangan dengan konsep ijma’ itu sendiri. Karena itu, menurut pendapat ini, ijma’ yang dilandasi oleh qiyas tersebut tidak ada faktanya.
Zakariyya Al-Anshari menjawab, bahwa kebolehan menyelisihi hukum yang ditetapkan oleh qiyas tersebut adalah jika tidak ada ijma’ di dalamnya. Sedangkan jika ada ijma’, maka ia tidak boleh diselisihi lagi. Dan faktanya, ada ijma’ para mujtahid yang dilandasi qiyas, yaitu ijma’ mereka atas keharaman makan lemak babi berdasarkan qiyas atas keharaman makan daging babi yang disebutkan dalam nash.
Wallahu a’lam.
Rujukan: Ghayah Al-Wushul Ila Syarh Lubb Al-Ushul, karya Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari, Halaman 522-523 dan 525, Penerbit Dar Al-Fath, ‘Amman, Yordania.
Leave a Reply