Oleh: Muhammad Abduh Negara
Dr. Muhammad Hasan Hitu saat membahas dalil-dalil yang diperselisihkan ulama, beliau memasukkan “ilham” sebagai dalil yang ditolak oleh madzhab Syafi’i dan mayoritas ulama, bahkan beliau mengisyaratkan bahwa ia ditolak sebagai dalil berdasarkan kesepakatan ulama. Beliau dalam “Al-Wajiz Fi Ushul At-Tasyri’ Al-Islami” (Hlm. 458, Muassasah Ar-Risalah, Libanon) menyatakan tentang “ilham”:
وهو شيء يقع في القلب فينشرح به الصدر يخص به الله تعالى بعض أصفيائه.
وهذا ليس بحجة في دين الله تعالى، لأن الله أكمل لنا الدين، وأتم علينا النعمة، ولم نعد بحاجة لمثل هذه الإلهامات.
ونحن لا ننكر الإلهام، ولا ننكر أن الله قد يلقي في قلوب بعض أصفيائه ما يشرح صدورهم.
إلا أن هذا لا ضابط له في قوانين الشرع، وكل ما كان كذلك لا يمكن أن يعتمد عليه لأنه ربما كان من دسائس الشيطان، لا من إكرام الرحمن.
ولو فتحنا هذا الباب في الشريعة لاضطرب أمرها، ولزعم كثير من الناس أنه ألقى إليهم، أو ألهموا في قلوبهم، وهذا باب اتفق العلماء على إغلاقه بالإجماع.
بل زادو على ذلك فقالوا: لو أن القاضي رأى رسول الله في المنام، وقال له: إن قضاءك الذي قضيت به بناء على البينة، قضاء ظالم، وأن البينة كاذبة، قالوا: يجب عليه أن يؤمن بأن قضاءه باطل، لأن رؤية رسول الله في المنام حق، والشيطان لا يتشبه به، إلا أنه يجب عليه أن يمضي قضاءه القائم على البينة، عملاً بالظاهر.
ولأننا لو فتحنا هذا الباب لادعى كثير من الفسقة رؤية رسول الله في المنام، ولهدموا قواعد الشرع وأسسه، والله الهادي إلى الصواب.
Artinya: “Ia (ilham) adalah sesuatu yang masuk pada hati seseorang yang membuat dirinya tercerahkan, dan ia diberikan oleh Allah ta’ala kepada sebagian kekasih-Nya.
Dan ilham ini bukan hujjah dalam agama Allah ta’ala, karena Allah telah menyempurnakan diin ini bagi kita, dan menyempurnakan nikmat atas kita, sehingga kita tidak perlu lagi dengan ilham-ilham semacam ini.
Kami tidak mengingkari adanya ilham, dan kami tidak mengingkari bahwa Allah bisa saja meletakkan sesuatu di hati sebagian kekasih-Nya yang membuat mereka tercerahkan.
Namun hal ini tidak memiliki standar dalam ketentuan syariat, dan semua hal semacam ini tidak bisa dijadikan pegangan dalam agama, karena ia bisa saja berasal dari tipu daya syaithan dan bukan karunia dari Ar-Rahman.
Jika kita buka pintu semacam ini dalam syariat, maka syariat akan menjadi goyah, karena akan banyak orang yang mengklaim bahwa ia mendapatkan ilham yang masuk ke hatinya, dan ulama sepakat pintu semacam ini wajib ditutup.
Bahkan para ulama menambahkan, seandainya ada seorang qadhi yang bermimpi bertemu Rasulullah, dan Rasul berkata kepadanya: “Putusan peradilan yang telah kamu tetapkan, yang didasari oleh bukti yang ada, adalah putusan yang zalim, dan bukti tersebut hanya kedustaan belaka.” Para ulama mengatakan, wajib baginya untuk mengimani bahwa putusannya tersebut batil, karena mimpi bertemu Rasulullah itu adalah haq, dan syaithan tidak bisa menyerupai beliau, namun dia tetap wajib mengesahkan putusan peradilannya tersebut yang didasari oleh bukti yang ada, mengamalkan zhahirnya perkara tersebut.
Dan juga, seandainya kita buka pintu ini, akan ada banyak orang fasiq yang mengklaim telah melihat Rasulullah dalam mimpi, kemudian mereka meruntuhkan kaidah dan asas syariat ini. Dan Allah Maha Memberi Petunjuk ke jalan yang benar.”
Pelajaran:
1. Islam tidak menolak adanya ilham yang diberikan oleh Allah ta’ala kepada sebagian orang yang Dia pilih, yang membuatnya mendapatkan pemahaman dan pencerahan terhadap sesuatu. Demikian juga, Islam tidak menolak kebenaran mimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan beberapa ketentuan yang disebutkan oleh para ulama. Hanya saja, baik ilham maupun mimpi tersebut bukan dalil untuk menetapkan atau menafikan sesuatu yang sudah ditetapkan oleh syariat melalui jalur-jalur yang mu’tabar, seperti sanad dalam riwayat, argumentasi ushul fiqih dalam berdalil, dan semisalnya.
2. Artinya, penetapan shahih dhaifnya suatu Hadits hanya diterima melalui analisis sanad dan matan, penelitian terhadap kualitas para periwayat Hadits dan ketersambungan satu periwayat dengan periwayat di atasnya, dan seterusnya, yang bisa kita ketahui dalam ilmu mushthalah Hadits dan ilmu rijal Hadits.
3. Demikian juga, penentuan rajih dan marjuhnya suatu pendapat, hanya diterima melalui proses penelitian terhadap dalalah dari suatu lafazh, jama’ dan tarjih antar dalil, nasikh dan mansukh, qiyas dan hal-hal semisalnya, yang dibahas panjang lebar dalam kitab-kitab ushul fiqih.
4. Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam “Ushul Al-Fiqh Al-Islami” (Hlm. 220, Dar Al-Fikr, Suriah) menyatakan, “Pendapat sebagian sufi yang menyatakan ilham atau mukasyafah adalah hujjah yang wajib diamalkan, dengan makna yang telah kami sampaikan, ini adalah batil sebagaimana perkara sebelumnya, dan tidak ada hujjah dalam ilham atau mukasyafah, sebagaimana yang kami jelaskan saat membantah syiah.”
Maksud Az-Zuhaili, kalangan syiah meyakini bahwa para imam mereka ma’shum dan mendapatkan ilham dari Allah ta’ala, sehingga perkataan mereka itu pasti benar dan sesuai dengan hukum yang diinginkan Allah ta’ala, dan konsep syiah semacam ini dtolak oleh para ulama Ahlus Sunnah. Dan beliau menegaskan bahwa hukum syariah hanya didapatkan dari wahyu yang disampaikan melalui perantaraan Jibril ‘alaihis salam.
Nah, bantahan yang sama, juga beliau berikan kepada sebagian sufi yang meyakini ilham dan kasyaf itu wajib diamalkan. Syiah dan sufi tentu berbeda, dan yang menganggapnya sama telah jatuh pada kekeliruan. Namun dalam konteks ilham dan kasyaf ini, kritik terhadap syiah dan sebagian sufi dibangun di atas landasan ilmiah yang sama.
5. Dalam kasus putusan peradilan yang disebutkan oleh Hitu di atas, yang bertentangan dengan yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi, kita bisa ambil pelajaran:
(a) Mimpi bertemu Nabi itu benar dan yang disampaikan beliau dalam mimpi juga benar, dengan syarat dia memang mimpi bertemu Nabi dan mimpinya tersebut memenuhi dhawabith yang disebutkan oleh para ulama (meski dalam perkara ini, ada khilaf juga di kalangan ulama, namun bukan di sini tempat untuk membahasnya). Karena itu beliau mengatakan, “Wajib baginya untuk mengimani bahwa putusannya tersebut batil, karena mimpi bertemu Rasulullah itu adalah haq, dan syaithan tidak bisa menyerupai beliau.”
(b) Namun dalam konteks putusan peradilan, mimpi tersebut tidak bisa dijadikan acuan. Karena itu, sang qadhi tetap wajib memutuskan sesuai bukti-bukti yang ada, karena itulah ketentuan syariat dalam penyelesaian perkara di peradilan.
(c) Sang qadhi tidak salah dan tidak berdosa karena memutuskan perkara yang berbeda dengan yang disampaikan Nabi dalam mimpi, karena dia telah mengikuti kaidah dalam agama ini, yaitu mengamalkan sesuatu berdasarkan zhahirnya. Bahkan mengamalkan yang zhahir itu adalah kewajiban yang harus dia ambil.
Wallahu a’lam.
Banjarmasin, 25 Jumada Ats-Tsaniyyah 1443 H / 28 Januari 2022 M
Leave a Reply