Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Imam Malik Menolak Hadits Shahih Tentang Khiyar Majlis

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Khiyar majlis adalah hak yang dimiliki dua pihak yang berjual beli, setelah melakukan akad jual beli, antara melanjutkan akad jual belinya atau membatalkannya, selama keduanya masih di majelis akad (tempat bertransaksi) (Hasan bin Ahmad Al-Kaf, At-Taqrirat As-Sadidah, Qism Al-Buyu’ Wa Al-Faraidh, Hlm. 35-37, Dar Al-Mirats An-Nabawi, Yaman).

Ulama berbeda pendapat tentang hukum khiyar majlis ini. Imam Malik dan Abu Hanifah, serta para pengikut mereka, dan sekelompok ulama Madinah, berpendapat tidak ada khiyar majlis, dan akad jual beli menjadi lazim (tidak bisa dibatalkan) dengan akad yang terjadi, meskipun dua belah pihak belum berpisah dari majelis akad. Sedangkan Imam Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan Dawud berpendapat, akad jual jual beli belum menjadi lazim (masih bisa dibatalkan), selama dua belah pihak belum berpisah dan masih berada di majelis akad. Pendapat kedua ini juga dipegang oleh Ibnu Abi Dzi’b dari ulama Madinah, Ibnu Al-Mubarak, Sawwar Al-Qadhi, Syuraih Al-Qadhi dan sekelompok ulama tabi’in dan lainnya. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Abu Barzah Al-Aslami dari kalangan shahabat, dan tidak ada pendapat yang menyelisihinya dari kalangan shahabat (Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid Wa Nihayah Al-Muqtashid, Hlm. 697, Bayt Al-Afkar Ad-Dauliyyah, Yordania).

Terkait hal ini, Waliyyullah Ad-Dihlawi dalam “Al-Inshaf Fi Bayan Asbab Al-Ikhtilaf” (Hlm. 40, Dar An-Nafais, Libanon), menyatakan:

وحديثُ خيار المجلس فانه حديث صحيح، رُوي بطرق كثيرة وعَمِلَ به ابن عمر وأبو هريرة من الصحابة. ولم يَظهر على الفقهاء السبعة ومعاصريهم، فلم يكونوا يقولون به، فرأى مالك وأبو حنيفة أن هذه علة قادحة في الحديث، وعَمِلَ به الشافعي.

Artinya: “Hadits khiyar majlis adalah Hadits shahih, diriwayatkan dari banyak jalur periwayatan, dan diamalkan oleh Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah dari kalangan shahabat. Namun Hadits tersebut tidak nampak oleh fuqaha sab’ah dan ulama yang sezaman dengan mereka, karena itu mereka tidak menerima adanya khiyar majlis ini. Karena itu, Malik dan Abu Hanifah berpandangan bahwa hal itu merupakan cacat yang merusak keabsahan Hadits tersebut. Sedangkan Asy-Syafi’i mengamalkan Hadits tersebut.”

Imam Malik sendiri meriwayatkan Hadits yang menetapkan adanya khiyar majlis di Al-Muwaththa beliau (Juz 2, Hlm. 379-380, Nomor 2664, Muassasah Ar-Risalah, Libanon), yaitu Hadits:

الْمُتَبَايِعَانِ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ عَلَى صَاحِبِهِ، مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا إِلَّا بَيْعَ الْخِيَارِ

Artinya: “Dua pihak yang berjual beli, masing-masing mereka punya hak khiyar (membatalkan jual beli), selama keduanya belum berpisah, kecuali jual beli khiyar.”

Namun Imam Malik tidak mengamalkan Hadits tersebut, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd (Hlm. 697-698), karena melihat penduduk Madinah tidak mengamalkan Hadits tersebut, dan juga karena Hadits tersebut bertentangan dengan Hadits lain yang menunjukkan akad jual beli menjadi akad lazim setelah akad, meski kedua belah pihak belum berpisah. Sayangnya, Hadits tersebut adalah Hadits munqathi’ (terputus sanadnya). Kemudian, para pengikut Imam Malik menambahkan argumentasi atas tidak berlakunya khiyar majlis, yaitu zhahir dari berbagai nash yang ada, yang menunjukkan kewajiban memenuhi akad, yang berarti suatu transaksi sudah menjadi lazim (tidak bisa dibatalkan) setelah akad berlangsung. Juga dengan qiyas, bahwa jual beli itu akad mu’awadhah (transaksi pertukaran dua hal antara dua pihak), seperti pernikahan, khulu’, dan lain-lain, dan tidak ada khiyar majlis pada akad-akad itu, maka demikian juga jual beli.

Pelajaran:

1. Kadang ulama meninggalkan pengamalan Hadits shahih, karena menganggap ada sisi kelemahan dan cacat pada Hadits tersebut, yang tidak dilihat oleh ulama lain. Juga karena melihat ada dalil lain yang lebih kuat, yang menolak makna yang dikandung oleh Hadits tersebut.

2. Imam Malik menolak mengamalkan khiyar majlis, karena melihat Hadits tersebut ditinggalkan pengamalannya oleh ulama Madinah, dan tidak dikenal di kalangan mereka,dan itu menunjukkan Hadits tersebut punya sisi kecacatan atau hukumnya telah mansukh (dihapus). Dan hal itu didukung oleh Hadits lain, yang juga diriwayatkan oleh beliau, yang menunjukkan tidak adanya khiyar majlis, meskipun Hadits ini adalah Hadits yang terputus sanadnya.

3. Kadang ada Hadits yang tidak sampai kepada sebagian ulama, sehingga mereka tidak mengamalkan kandungan Hadits tersebut. Hal ini, sebagaimana disebutkan oleh Ad-Dihlawi, bahwa fuqaha sab’ah (tujuh ulama faqih Madinah di era tabi’in) dan banyak ulama yang sezaman dengan mereka, tidak menerima Hadits tentang khiyar majlis ini, sehingga mereka tidak mengamalkannya. Dan itu juga yang membuat Imam Malik dan Imam Abu Hanifah menganggap Hadits khiyar majlis ini cacat dan tidak bisa diamalkan.

4. Imam Asy-Syafi’i menetapkan adanya khiyar majlis, berdasarkan Hadits-hadits shahih yang menunjukkan hal tersebut, dan beliau tetap mengamalkannya, meskipun Hadits tersebut tidak diketahui oleh sebagian ulama, atau tidak mencapai derajat masyhur, atau bertentangan dengan amal penduduk Madinah, dan alasan-alasan lain. Bagi beliau, jika suatu Hadits terbukti keshahihannya, ia wajib diamalkan.

5. Pembahasan ringkas ini, ingin memberikan sedikit gambaran rumitnya penetapan hukum fiqih. Bahkan saat ada Hadits yang shahih sanadnya, masih ada ulama yang tidak menerimanya, dengan memberikan sekian argumentasi yang tidak remeh.

Wallahu a’lam.

Banjarmasin, 18 Rajab 1443 H / 19 Februari 2022 M

Leave a Reply