Oleh: Muhammad Abduh Negara
Maksud “amrunaa” (perintah dari kami) adalah: hukmunaa (penetapan hukum dari kami) dan idznunaa (izin dari kami).
Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setuju dan memuji Khalid radhiyallahu ‘anhu, saat beliau mengambil liwa (panji pemimpin perang) dalam Perang Mu’tah, meski Nabi tidak pernah memerintahkan itu kepadanya. Karena hal itu termasuk kemaslahatan umum, dan ia tidak harus menunggu perintah secara khusus.
Demikian pula, pujian Nabi kepada Bilal radhiyallahu ‘anhu, yang senantiasa shalat dua rakaat setelah wudhu. Padahal Bilal melakukannya tanpa ada perintah langsung (nash) dari Nabi. Beliau melakukannya dengan istinbath, dari perintah untuk shalat secara mutlak.
(Al-Fath al-Mubin, Ibnu Hajar al-Haitami, Hlm. 230)
Catatan M4N:
1. Dari sini, kita bisa bedakan mana bid’ah yang sayyiah munkarah (buruk dan mungkar), dan mana perkara baik nan masyru’ (disyariatkan) meski tidak ada perintah atau contoh langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika perkara itu dilandasi oleh dalil (baik dalil umum maupun dalil khusus), maka ia perkara baik dan masyru’, seperti yang dilakukan oleh Khalid dan Bilal pada contoh di atas.
Sebaliknya, jika ia tidak dilandasi dalil-dalil syar’i, maka ia termasuk muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan) yang mardud (ditolak dalam agama).
2. Kalau anda katakan, yang dilakukan oleh Khalid dan Bilal itu masyru’, karena ada taqrir (persetujuan) dari Nabi, sehingga dalilnya adalah as-Sunnah at-Taqririyyah. Kita katakan, itu betul.
Tapi yang kita mau cari tahu adalah, mengapa Khalid dan Bilal melakukannya, sebelum ada taqrir bahkan pujian dari Nabi itu? Di sini kita akan temukan nalar fiqih dan dhawabith yang penting, untuk membedakan mana bid’ah sayyiah dan mana perkara yang masyru’.
Wallahu a’lam.


Leave a Reply