Oleh: Muhammad Abduh Negara
Soekarno, sebagaimana disebutkan oleh Dhurorudin Mashad dalam tulisan “Soekarno vs Natsir, Dialog Kritis Agama dan Negara”, pernah mengutip pernyataan Kemal Pasha tentang pemisahan agama dan negara, “Jangan marah, kita bukan melempar agama kita, kita cuma menyerahkan agama kembali ke tangan rakyat kembali, lepas dari urusan negara supaya agama dapat menjadi subur”.
Pernyataan Soekarno ini dikritik oleh Natsir. Di antara poin kritiknya, bila hukum Islam diserahkan pada rakyat dan negara tak campur tangan, sangat mustahil Islam dapat menjadi subur. Semua aturan dan hukum apapun, hanya bisa berjalan sebagaimana mestinya, jika ada kekuatan berupa kekuasaan dalam negara. Seperti undang-undang manapun, Al-Qur’an tidak bisa berbuat apa-apa, dan aturan di dalamnya tidak akan bisa berjalan, jika ia hanya ditumpuk dalam lemari dan tidak dijadikan dasar dalam bernegara.
Poin kritik lain, bahwa setiap komunitas punya falsafah hidup tertentu, yang menjadi rujukan dan pegangan bagi setiap komunitas, termasuk umat Islam. Jika umat Islam dijauhkan dari falsafah hidup tersebut dan justru dipaksakan untuk mengikuti falsafah hidup komunitas lain, maka itu akan merusak kehidupan mereka.
Dalam tulisan Mashad, juga disebutkan pergulatan umat Islam Indonesia tentang falsafah hidup bernegara, sejak sebelum merdeka, saat kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Termasuk secara khusus dialog antara Soekarno dan Mohammad Natsir. Yang pertama, representasi kalangan nasionalis yang begitu kagum dengan sekularisme Turki ala Kemal Pasha. Yang kedua, representasi kalangan Islamis, yang menginginkan Islam menjadi pondasi dan asas negara.
Di tulisan ringkas ini, saya tidak akan membuat resume tulisan Mashad yang dimuat Jurnal Al-Insan pada tahun 2008 tersebut. Yang ingin mengambil faidah, bisa baca sendiri. Poin yang ingin saya ambil, dialog dan perdebatan soal dasar dan falsafah hidup bernegara di Indonesia itu, sudah ada bahkan oleh para pendiri negara ini sebelum ia diproklamasikan. Dan itu terus berlaku, sebagaimana kita ketahui, misalnya dengan berdirinya Masyumi sebagai wadah politik umat Islam di orde lama, debat keras di sidang Konstituante, munculnya berbagai gerakan Islam di masa orde baru yang bergerak secara diam-diam karena sikap represif penguasa, sampai berdirinya banyak partai politik Islam dan berbagai ormas Islam pasca reformasi, yang menginginkan dibumikannya Islam di negeri ini. Jangan lupakan juga, berdirinya ICMI dan Bank Muamalat, di akhir era orde baru, yang menunjukkan ada upaya serius untuk menjadikan syariah Islam sebagai dasar dalam kehidupan kita di negeri ini.
Karena itu, satu pandangan yang ahistoris, jika ada yang menolak pergulatan pemikiran, gagasan dan aksi semacam ini. Seakan sejak awal, umat Islam dan tokoh-tokohnya setuju begitu saja hidup dalam alam sekuler, dan sepakat bahwa Islam dan Al-Qur’an cukup dipraktekkan di masjid saja.
Saya sendiri tidak sepakat pada pihak yang melakukan takfir serampangan pada pelaksana negara ini, atau yang mengharamkan sepenuhnya terlibat dalam institusi negara. Jelas juga, saya tidak mendukung aksi terorisme, pengeboman di berbagai tempat, dan seterusnya, karena jelas itu merugikan umat Islam sendiri. Namun bukan berarti, kita harus setuju, syariah Islam tidak perlu diterapkan oleh negara. Pilihan kita bukan cuma ekstrim kanan dan ekstrim kiri.
Ada pilihan yang jauh lebih baik, yaitu kita tetap memperjuangkan syariah Islam dalam kehidupan bernegara, tapi dengan tetap memperhatikan aspek maslahat dan mafsadat, serta tadarruj (bertahap) dalam dakwah. Tidak grusa grusu, yang malah membuat dakwah Islam tambah mundur ke belakang. Dan tentu, sembari memberikan apresiasi atas dakwah Islam para pendahulu kita. Karena itu, saya sangat tidak sepakat dengan orang yang menyamakan bank syariah dan bank konvensional, dan mengharamkan keduanya, sembari tetap memakai rekening bank konvensional. Sikap ini, selain tidak mempertimbangkan aspek maslahat dan mafsadat, juga menunjukkan pelakunya tidak memahami fiqih Islam dengan baik, serta tidak memberi apresiasi yang semestinya terhadap hasil perjuangan para pendahulu.
Kita mendukung setiap upaya membawa syariah Islam dalam kehidupan bernegara, baik secara struktural maupun kultural, intra parlemen maupun ekstra parlemen, dalam khutbah jum’at maupun dalam rapat DPR, karena itu memang falsafah hidup kita yang harus kita perjuangkan. Tentu dengan tetap memperhatikan kemaslahatan dakwah dan umat Islam secara luas.
Leave a Reply