Oleh: Muhammad Abduh Negara
Tidak ada seorang pun yang mampu menguasai seluruh Sunnah, sebagaimana dinyatakan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i dan Asy- Syaikh Ibnu Taimiyyah, semoga Allah ta’ala merahmati keduanya dan seluruh ulama. Artinya, sepakar apapun seorang ulama, tetap akan ada yang luput darinya, tetap akan ada yang tak diketahuinya. Karena itu, ungkapan “laa adrii” menjadi wirid mereka yang wara’.
Itu ulama besar. Itu mujtahid yang kepakarannya sulit ditandingi. Apatah lagi para ustadz kita, yang tazkiyah atas keilmuannya lebih banyak diberikan oleh orang awam, dibanding oleh pakar. Tentu lebih banyak yang luput darinya. Kepakaran di satu cabang ilmu saja belum tentu punya, apalagi di banyak cabang ilmu, layaknya Al-Hafizh As-Suyuthi sang mutafannin.
Sayangnya ini yang tak banyak dipahami oleh fans para ustadz tersebut. Dikiranya, kalau sudah dipanggil ustadz, punya jadwal ceramah di mana-mana, videonya tersebar di YouTube, punya gelar ini itu dari luar negeri, artinya sang ustadz mampu menjawab semua persoalan, menguasai seluruh disiplin ilmu agama.
Kalau sang ustadz bersikap wara’, ia tak akan menjawab, kecuali dengan ilmu dan penelaahan atas persoalan yang ditanyakan.
Namun, jika tidak, ia akan jawab saja seasalnya. Toh, para fans tetap akan memuja.
Para fans ustadz, yang layaknya fanatis klub bola itu, mungkin juga tak paham, bahwa ilmu yang pernah dipelajari itu, perlu terus di-muraja’ah, agar tak lupa dari ingatan. Ditambah lagi, sang ustadz juga perlu menelaah banyak kitab karya ulama, untuk menambah ilmu dan memperkaya wawasan.
Para fans garis keras itu mungkin tak paham, atau tak mau mengerti, bahwa waktu sang ustadz untuk menelaah kitab-kitab ulama tersebut, telah dirampas oleh kesibukan mengisi tabligh akbar, kajian tematik, tampil di TV, dll. Yang waktu luangnya masih banyak saja, terkadang malas baca kitab. Apalagi yang jadwal tampilnya di depan publik sudah padat merayap.
Leave a Reply