Oleh: Muhammad Abduh Negara
Saat dulu masih di HT, ada beberapa pendapat resmi HT, atau fatwa dari ustadz-ustadz senior HT yang jadi rujukan, yang saya kurang sreg. Karena saat itu, alhamdulillah, saya sudah bisa menelusuri kitab-kitab para ulama, jadi tahu pendapat-pendapat mereka beserta argumentasinya, jadi kadang bisa melihat sisi lemah istidlal dari HT atau asatidznya, bahkan ada yang derajat pendapat tersebut sampai syadz.
Namun untuk mengkritisi secara terbuka, sulit sekali. Karena ada keharusan ikuti pendapat mutabannat HT. Memang ada ruang untuk mendiskusikan dan mengkritisinya, tapi birokrasinya sulit sekali, dan kita baru boleh mengubah pendapat kita, kalau HT secara resmi mengubah pendapatnya. Jadi, tidak mungkin terjadi dan “haram”, jika ada aktivis HT yang berkata, “Pendapat resmi HT begini, tapi saya memilih pendapat yang lain.”
Alhamdulillah, setelah keluar, saya tidak harus terikat dengan hal-hal yang tidak punya dasar ilmiah kuat tersebut. Saya bisa memilih pendapat, baik karena melihat hujjahnya yang kuat, atau minimal karena tsiqah dengan kualitas keilmuan orang yang menyampaikannya, dan semua itu atas pilihan sendiri, bukan karena terpaksa, atau tidak enak dengan komunitas, atau malah karena takut dikucilkan.
Begitulah harusnya kita di depan ilmu. Jika kita mendapatkan kebenaran pada satu perkara, ikuti saja itu. Tidak usah takut dan khawatir, karena pendapat tersebut tidak populer di komunitas anda, lalu anda akan dikucilkan, dituduh menyimpang, dan lain- lain. Pengucilan, tuduhan menyimpang, dan semisalnya, tanpa landasan ilmiah yang kuat, itu hanya sikap hizbi yang tercela.
Sikap hizbi yang tercela itu, saat anda meninggalkan kebenaran, demi mengikuti pakem komunitas. Menganggap ilmu sebagai syubhat, dan syubhat sebagai ilmu, karena itu yang diinginkan oleh komunitas.
Jadilah seperti yang dikatakan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
الجماعة ما وافق الحق، ولوكنت وحدك
Artinya: “Al-Jama’ah itu yang sesuai dengan kebenaran, walaupun engkau hanya sendirian di sana.”
Leave a Reply