Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Jika Pendapat Madzhab Bertentangan dengan Hadits Shahih

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Kalau kita mau membagi kapasitas seseorang di hadapan dalil, sebagai berikut:

1. Mujtahid
2. Alim dan thalibul ‘ilm senior yang sudah memiliki berbagai ilmu untuk memahami nash dan berdalil, meski kelayakannya untuk ijtihad tersendiri belum diakui
3. Thalibul ‘ilm pemula dan setengah mentah
4. Awam non thalibul ‘ilm

Maka khithab “jika pendapat madzhab bertentangan dengan Hadits shahih” bisa kita beri perincian.

1. Untuk mujtahid, hukum asalnya memang tidak boleh taqlid pada mujtahid lain, masing-masing wajib meneliti dalil sendiri, dan mengamalkan serta memfatwakan hasil ijtihadnya sendiri.

2. Untuk awam non thalibul ‘ilm, adalah sebuah blunder sangat fatal jika mereka disuruh meneliti dalil sendiri, apalagi sampai menyebut pendapat imam madzhab menyelisihi Hadits shahih.

Tugas mereka adalah bertanya kepada muftinya (entah sang mufti terikat pada satu madzhab atau pakai tarjih pribadi), dan yang difatwakan mufti, itulah yang harus dia amalkan. Cukup amalkan saja, tidak boleh ikut membahas, apalagi berdebat.

3. Untuk thalibul ‘ilm pemula dan setengah mentah, misalnya untuk yang sudah cukup paham bahasan dan teori di Jam’ul Jawami’ dan Hasyiyah Bajuri, namun belum mampu menegakkan hujjah dan berdalil, meng-ilhaq (mengikutkan) mereka pada kalangan awam non thalibul ‘ilm lebih tepat, dibandingkan menyamakan mereka dengan alim dan thalibul ‘ilm senior, apalagi dengan mujtahid.

4. Untuk alim dan thalibul ‘ilm senior yang sudah memiliki berbagai ilmu untuk memahami nash dan berdalil, namun belum diakui punya kelayakan dalam ijtihad, tampaknya ini level yang diperdebatkan.

Sebagian ada yang begitu jumud, menganggap tidak ada yang punya kelayakan ijtihad lagi di masa sekarang di seluruh penjuru bumi, padahal ijtihad itu hal yang fardhu kifayah di setiap zaman. Bagi mereka, tugas ulama sekarang itu hanya menukil kalam ulama-ulama madzhab saja, termasuk menukil kalam ulama mutaakhkhirin dan penulis hawasyi, yang bisa jadi ulama sekarang sebenarnya ada yang lebih alim dari mereka.

Sebagian lagi, ada yang berpikiran lebih terbuka, menganggap ijtihad sesuatu yang urgen di masa sekarang, dan menyatakan ia adalah hal yang bisa dilakukan, bukan perkara yang muta’assir apalagi muta’adzdzir di masa sekarang. Meski tentu tetap hanya minoritas orang yang bisa melakukannya.

Mengikuti pandangan kelompok ulama yang lebih terbuka ini, alim dan thalibul ‘ilm senior ini bisa saja di-ilhaq pada kelompok mujtahid, atau minimal dianggap punya kelayakan dalam menimbang kuat lemahnya pendapat dari sisi dalil dan argumentasi. Saya pribadi, lebih condong makmum pada pandangan kelompok ulama ini.

Nah, pembagian rinci seperti ini yang perlu diperhatikan oleh setiap orang, baik penyampai ungkapan “jika pendapat madzhab bertentangan dengan Hadits shahih” maupun pendengarnya. Kalau ini disampaikan ke kalangan awam, atau yang belum tamat Durusul Lughah, ya blunder fatal jadinya. Bukannya punya sikap ilmiah yang kokoh, malah jadi orang-orang yang tidak tahu diri dan lancang pada para ulama.

Kemudian, perlu ditancapkan kuat-kuat di benak kita, tidak ada satupun ulama mu’tabar, termasuk imam madzhab yang empat, yang sengaja menyelisihi Nabi dan Hadits Nabi. Bahkan, tidak mungkin mereka mengeluarkan pendapat tanpa hujjah dan dalil yang mereka ketahui. Bedanya hanya soal, mendahulukan satu dalil atas dalil yang lain, perbedaan cara memahami dalil, perbedaan dalam menilai shahih dhaifnya Hadits, dan hal-hal semisal itu, yang bisa kita temukan dalam bahasan “penyebab ulama berbeda pendapat”.

Dan selama perbedaan pendapat yang terjadi itu, dalam perkara ijtihadiyyah, maka yang wajib diajarkan kepada umat Islam adalah sikap toleran dan menghargai perbedaan pendapat yang ada, bukan malah membuat narasi dan tuduhan penyimpangan agama, menyelisihi manhaj salaf, atau hal-hal yang semisalnya.

 

Leave a Reply