Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Jika Sudah Ada Nash, Masih Bolehkah Ijtihad?

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam “Al-Wajiz Fi Ushul Al-Fiqh” (Hlm. 231-233, Dar Al-Fikr, Suriah) menyebutkan ruang lingkup perkara yang berlaku ijtihad padanya, yaitu:

1. Perkara yang disebutkan oleh nash, namun nash tersebut zhanni tsubut dan dalalahnya.
2. Perkara yang disebutkan oleh nash, namun nash tersebut zhanni salah satu dari tsubut atau dalalahnya.
3. Perkara yang tidak disebutkan dalam nash, juga tidak ada ijma’ padanya.

Catatan:

1. Maksud zhanni tsubut adalah, sampainya nash tersebut pada kita tidak sampai derajat pasti 100% berasal dari Allah ta’ala dan Rasul-Nya, dan lawannya adalah qath’i tsubut, yaitu nash yang sampai pada kita dengan tingkat 100% pasti dari Allah dan Rasul-Nya. Yang termasuk nash qath’i tsubut adalah Al-Qur’an seluruhnya dan Hadits yang mutawatir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan nash zhanni tsubut adalah Hadits ahad.

2. Maksud zhanni dalalah adalah, makna yang ditunjukkan oleh nash tersebut mengandung beberapa kemungkinan makna sehingga perlu usaha untuk menentukan mana makna rajih (makna kuat yang dimaksud) yang diinginkan oleh nash tersebut. Sedangkan qath’i dalalah artinya, nash tersebut hanya mengandung satu kemungkinan makna dan tidak mungkin ia dipahami dengan makna lain. Baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah mengandung nash yang qath’i dalalah dan zhanni dalalah.

3. Perkara yang tidak boleh ada ijtihad padanya adalah perkara yang terdapat nash yang qath’i tsubut dan dalalahnya sekaligus, dan pada konteks ini lah berlaku kaidah: لَا مُسَاغَ لِلْاِجْتِهَادِ فِي مَوْرِدِ النَّصِّ (Tidak boleh ijtihad dalam perkara yang terdapat nash padanya). Maksudnya, pada perkara yang terdapat nash yang qath’i tsubut dan dalalahnya.

4. Perkara yang tidak boleh ada ijtihad padanya juga adalah perkara yang telah menjadi ijma’ di kalangan ulama. Karena itu, salah satu syarat seorang mujtahid adalah, dia mengetahui perkara yang disepakati dan diperselisihkan ulama, sehingga dia tidak mengeluarkan pendapat yang menyelisihi ijma’ ulama sebelumnya.

5. Menurut Az-Zuhaili, ijtihad pada perkara yang terdapat nash yang zhanni tsubut padanya (Hadits ahad), adalah ijtihad dalam meneliti sanad dan jalur sampainya nash tersebut pada kita, sekaligus penelitian terhadap ‘adalah dan dhabth dari para periwayat Hadits ahad tersebut. Dan di wilayah ini, ulama bisa berbeda pendapat, ada yang mengambil Hadits tersebut karena menerima keshahihannya, ada juga yang meninggalkannya karena ragu dengan keshahihannya.

6. Adapun pada nash yang zhanni dalalah, Az-Zuhaili menyatakan, ijtihad dilakukan untuk meneliti makna yang diinginkan oleh nash tersebut serta kuat tidaknya makna yang ditunjukkan tersebut. Di wilayah ini, misalnya diteliti apakah nash tersebut ‘amm atau khash, kalau dia ‘amm apakah ia tetap dengan keumumannya, atau ada takhshish (pengkhususan/pengecualian) padanya. Demikian juga apakah ia berupa amr (perintah) atau nahy (larangan), dan jika ia berisi perintah, apakah ia menunjukkan hukum wajib, mandub, dan seterusnya. Dan banyak lagi bahasan lainnya.

7. Masih menurut Az-Zuhaili, jika perkara tersebut tidak disampaikan dalam nash dan tidak ada ijma’ padanya, maka ijtihad padanya berlaku dengan qiyas, istihsan, mashalih mursalah, ‘urf, istishhab, dan lainnya.

8. Banyak orang mengira, saat membaca satu artikel atau satu buku, yang menyajikan pendapat penulisnya, dan di dalamnya disebutkan ayat Al-Qur’an atau Hadits Nabi, otomatis pendapat tersebut pasti benar dan sesuai dalil. Padahal masalahnya tidak sesederhana itu. Dia harus memastikan, apakah makna yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan Hadits tersebut qath’i atau hanya zhanni. Dia juga harus memastikan, apakah Hadits tersebut shahih berdasarkan kesepakatan ulama, atau keshahihannya diperselisihkan. Jika diperselisihkan, dia harus mampu menetapkan, mana yang benar, Hadits tersebut shahih atau tidak. Jika dalalah yang ditunjukkan oleh keduanya itu zhanni, dia harus mampu menentukan mana makna yang rajih berdasarkan kaidah-kaidah yang disebutkan dalam ushul fiqih.

Jika semua hal ini tidak mampu dilakukan, maka sebenarnya dia tidak sedang mengikuti dalil. Dia hanya taqlid saja pada penulis artikel atau buku tersebut. Dan bagi orang awam, taqlid ini sah-sah saja, bahkan wajib hukumnya. Namun karena dia hanya mampu taqlid, maka haram baginya menuduh ulama yang tidak dia ikuti pendapatnya telah menyelisihi dalil. Ini gabungan dua keburukan besar, lancang terhadap ulama dan berbicara tanpa ilmu.

Wallahu a’lam.

Banjarmasin, 23 Jumada Ats-Tsaniyyah 1443 H / 26 Januari 2022 M

Leave a Reply